A. LATAR BELAKANG MASALAH Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perdata Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Salatiga 2010)
Hukum bersifat memaksa dan mengatur seluruh aspek kehidupan di
dalam wilayah yang dicakupnya, guna menciptakan ketertiban dan
keteraturan hidup tanpa menimbulkan banyak kekacauan serta mampu
menjamin rasa aman bagi setiap manusia. Selain itu, dapat juga sebagai upaya
untuk melindungi kepentingan-kepentingan bagi subyek hukum yang merasa
hak-haknya dirugikan.
Hukum-hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengalami
perubahan baik sari segi isi maupun redaksi diharapkan lebih aplikatif dan
mampu menciptakan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, dari
masyarakat kecil dalam arti masyarakat pedesaan (masyarakat ekonomi
menengah ke bawah) sampai masyarakat perkotaan yang tergolong mampu
(masyarakat ekonomi menengah ke atas). Kemajuan zaman merupakan
barometer utama guna mendorong proses dan cara menerapkan hukum-
hukum baru yang dipandang lebih sesuai dengan permasalahan sekarang. Di
lain pihak munculnya ide, gagasan membangun peradaban yang maju dan
sejahtera demi kepentingan.
Dari zaman kolonial hingga sekarang Indonesia mengalami
perkembangan dari bidang hukum. Kendati masih kurang komprehensif dan
terasa lambat, namun telah mengalami modifikasi serta revisi di beberapa
aturan hukum yang mendasar. Hal tersebut dapat kita lihat dari amendemen
UUD 1945 dan juga revisi beberapa undang-undang, semua itu dilakukan
untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.
Dari apa yang diamanatkan oleh pemerintah tentang pelaksanaan
seluruh peradilan sebagai estafet dari masa kemerdekaan sampai sekarang
menunjukkan bahwa aturan dasar serta pedoman hukumnya mewajibkan
untuk ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun, dalam perkembangannya
banyak terjadi ketidaksesuaian antara dasar hukum yang dipakai dengan
permasalahan yang dihadapi. Hal inilah, mendorong para pembuat peraturan
untuk berpikir lebih keras, mendalam serta mampu mengkaji problema yang
dihadapi bangsa Indonesia. Guna menyesuaikan antara permasalahan dengan
penanggulangannya agar lebih efektif dan efisien. (Mahkamah Agung,
diskusi hukum online, 2010)
Masyarakat (justiciabel) atau yang harus dihukum sangat
berkepentingan akan penyelesaian sengketa yang sederhana dan efisien, baik
dari segi waktu maupun biaya. Pemantapan dan pengetahuan akan pentingnya
proses hukum menganjurkan bagi para pencari keadilan untuk dapat bertindak
demi memperoleh kebenaran sejati tanpa mengalami kerugian baik materiil
maupun non materiil. Kesadaran hukum masyarakat dalam konteks ini dapat
dilihat dari makin meningkatnya perkara khususnya perkara perdata yang
diterima oleh Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Agama) dari tahun ke tahun.
Dari tahun ke tahun semakin banyak perkara perdata yang diajukan
oleh pihak yang berkepentingan yang biasa disebut sebagai penggugat untuk
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan. Hal inilah yang menyebabkan perkara
menumpuk di Pengadilan, maka umumnya perkara yang diajukan oleh para
pihak memakan waktu yang lama untuk dapat diadili dan diputus oleh hakim.
Hal inilah yang mendorong pelaksanaan hukum acara agar sesuai dengan asas
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Agar asas sederhana, cepat dan biaya ringan dapat terwujud
pemerintah dalam hal ini mahkamah agung telah membuat beberapa regulasi
agar perkara yang masuk di Pengadilan Agama ataupun Pengadilan Negeri
tidak menumpuk terlalu banyak, salah satunya adalah PERMA No. 2 Tahun
2003 tentang mediasi dalam perkara perdata. Mediasi ini merupakan
penyelesaian perkara dengan perdamaian antara pihak yang berperkara
disebut juga penggugat dan tergugat.
Pranata perdamaian oleh hakim bukan sesuatu yang baru, tetapi
diharapkan tidak sekedar formalitas yang semata-mata diserahkan kepada
pihak-pihak. Hakim harus lebih aktif mengusahakan perdamaian sebelum
memasuki pokok perkara. Hal ini sesuai dengan trend umum yang berlaku
dalam beracara. Di samping itu, aktualisasi pranata perdamaian ini akan lebih
merangsang berkembangnya cara-cara menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan.
Perkembangan pranata-pranata ini secara tidak langsung akan
mengurangi jumlah perkara ke Pengadilan. Hakim dapat melaksanakan tugas
secara wajar tanpa terburu-buru yang akan lebih meningkatkan mutu putusan
dan menghindari pula berbagai bentuk kolusi untuk mempercepat atau
memenangkan perkara (Bagir Manan, 2008: 5).
Hal tersebut diatas diatur dalam pasal 130 HIR/154 RBg pasal 130
ayat (1) HIR (Herziene Indonesisch Reglement) disebutkan bahwa: “Jika
pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka Pengadilan
Negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.”
(Ropaun Rambe, 2006: 245)
Pada ayat di atas sangat jelas keharusan Hakim Ketua Pengadilan
Negeri untuk mengupayakan perdamaian terhadap perkara perdata yang
diperiksanya. Dalam kaitannya hakim harus dapat memberikan pengertian,
menanamkan kesadaran dan keyakinan kepada pihak-pihak yang berperkara,
bahwa penyelesaian perkara dengan perdamaian merupakan suatu cara
penyelesaian yang lebih baik dan lebih bijaksana daripada diselesaikan
dengan putusan pengadilan, baik dipandang dari segi waktu, biaya dan tenaga
yang dipergunakan (Sri Wardah, 2007: 92). Bertumpu dari pasal di atas, maka
di dalam perkara perdata upaya mediasi secara langsung merupakan suatu
kewajiban yang memang harus dilakukan dalam proses persidangan. Hal ini
dimaksudkan bahwa mediasi mampu untuk dijadikan konsep untuk
mempermudah penyelesaian perkara bagi para pihak yang berperkara demi
memperoleh kesepakatan bersama dan memberikan suatu keadilan yang
bersumber dari perilaku aktif para pihak itu sendiri, beserta hal-hal yang
dikehendaki dalam proses mediasi tersebut. Oleh karenanya, mekanisme mediasi dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan juga mendorong
upaya damai sebagai solusi yang utama oleh para pihak yang bertikai.
Dengan segala permasalahan mendasar yang telah
mempertimbangkan banyak hal serta aspek yang melingkupinya. Prosedur
mediasi dalam PERMA No 2 Tahun 2003 yang sudah diaplikasikan menjadi
suatu hal yang perlu untuk dibenahi, maka melalui fungsinya Mahkamah
Agug sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam
membuat peraturan telah memberlakukan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
sebagai standar umum bagi pedoman pelaksanaan Mediasi yang diintensifkan
ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan. Adapun Peraturan Mahkamah
Agung tersebut sebagai revisi dari apa yang telah terkandung di dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi
berdasarkan evaluasi di Pengadilan. Oleh karena itu setiap Pengadilan
Tingkat Pertama, baik Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri harus
menerapkan apa yang diamanatkan oleh PERMA No. 1 tahun 2008.
Pengadilan Agama Salatiga sebagai lembaga peradilan tingkat
pertama telah melaksanakan prosedur mediasi yang tertuang dalam PERMA
No 1 tahun 2008 selama kurang lebih 3 tahun terhitung dari tahun 2008
sampai sekarang, di Pengadilan Agama Salatiga masih terdapat beberapa
kekurangan dalam melaksanakan prosedur mediasi tersebut, walaupun
kekurangan tersebut tidak menyebabkan mediasi batal demi hukum. Hal di atas dapat kita ketahui karema belum ada orang yang
menjalankan fungsi mediator yang memiliki sertifikat mediator di wilayah
hukum Pengadilan Agama Salatiga. Sedangkan PERMA No 1 tahun 2008
pasal 5 ayat 1 berbunyi “Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9
ayat (3) dan Pasal 11 ayat (6), setiap orang yang menjalankan fungsi
mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh
setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah
memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.” Ayat
tersebut belum terpenuhi di Pengadilan Agama Salatiga, tetapi pada
prakteknya menggunakan pasal 5 ayat 2 dari Perma tersebut yang berbunyi
”Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi
hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di
lingkungan Pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi
mediator.” (Munjid, 2010: Wawancara)
Di Pengadilan Agama Salatiga masalah perceraian baik cerai gugat
atau cerai talak merupakan perkara perdata yang umumnya di ajukan, oleh
sebab itu sidang atas cerai gugat atau cerai talak harus dimulai dengan
mediasi yang didasarkan PERMA No 1. proses mediasi tersebut dilaksanakan
di luar persidangan setelah para pihak (pengugat dan pengguat) memilih
mediator dari daftar mediator yang di daftar oleh ketua pengadilan Agama
Salatiga pada sidang pembukaan.
Dalam proses mediasi tersebut di atas para pihak yang dipandu oleh
mediator mulai mengungkapkan keinginan dan solusi yang diharapkan kemudian mediator mendorong para pihak untuk mencari solusi yang terbaik
bagi mereka. Jika mediasi tersebut menghasilkan kesepakatan untuk berdamai
maka mediasi tersebut dikatakan berhasil dan jika mediasi tersebut tidak
menghasilkan perdamaian maka mediasi dianggap gagal. Tetapi prosentase
keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Salatiga selama ini sangat kecil.
Kecilnya keberhasilan ini ditentukan oleh bermacam-macam faktor. Salah
satu faktor adalah terdapat miskonsepsi pada mediator bahwa makna mediasi
perdamaian, dan perdamaian diberi arti pengembalian ke keadaan seperti
semula. Dalam kasus ini kita paham bahwa yang dimaksud dengan “keadaan
seperti semula” adalah tidak jadi bercerai, jadi ada keinginan mediator untuk
menggagalkan niat pihak untuk bercerai. Ketika keinginan mediator tidak
terlaksana, sayangnya dan biasanya mediasi dianggap gagal.
Pada umumnya peradilan agama adalah lingkungan peradilan yang
menghadapi ancaman kegagalan terbesar. Ini karena lingkungan peradilan
agama selama ini memiliki spesialisasi perkara kerumahtanggaan atau
kekeluargaan, yang bersangkut paut dengan hukum agama, sedangkan hukum
agama penuh dengan pesan-pesan moral. Oleh sebab itu, meski cerai talak
atau cerai gugat dijustifikasi secara hukum, namun karena secara moral
dianggap tidak baik, maka sebisa mungkin dihalangi (Achmad Gunaryo,
2010: 5).
Berdasarkan uraian atas permasalahan pada judul dan latar belakang
di atas, maka dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan suatu
pengetahuan akan suatu hal yang patut diangkat menjadi sebuah penelitian dengan judul “EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA
BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 01
TAHUN 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Salatiga 2010)”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berkaitan dengan latar belakang masalah yang penulis kemukakan di
atas, maka permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan adalah
sebagai berikut:
1. Apa dan bagaimana mediasi menurut PERMA No. 01 Tahun 2008?
2. Bagaimana penerapan mediasi dalam Perkara Perdata di Pengadilan
Agama Salatiga tahun 20010?
3. Bagaimana efektifitas mediasi dalam perkara perdata berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 di Pengadilan Agama
Salatiga?
22.51
Unknown
1 comment
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perdata Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Salatiga 2010)
Rating:
1 komentar:
Terima kasih atas artikelnya.
sepertinya anda berbakat untuk urusan membuat postingan yang ini, jujur saja kamu punya kelebihan tersendiri, dan saya akan berkunjung lagi bila ada waktu.
#Semoga sehat selalu :D
Posting Komentar