B. Latar Belakang Masalah Pengaruh Pemikiran Feminisme Terhadap Partisipasi Perempuan Dalam Revolusi Mesir
Perempuan di Dunia Arab termasuk Mesir, memiliki nasib tidak terlalu
berbeda dengan daerah lain dari berbagai belahan dunia yang menganut tradisi
patrilineal, telah sepanjang sejarah mengalami diskriminasi dan telah tunduk pada
pembatasan mereka terhadap kebebasan dan hak dari berbagai aspek sosial, politik,
maupun ekonomi. Beberapa dari praktik-praktik ini sering kali berdasarkan dari
interpretasi dari sebuah keyakinan agama, interpretasi agama tersebut sering
dijadikan sebagai alat legitimasi bagi laki-laki untuk memindas perempuan atas nama
ketuhanan sehingga sulit untuk dihilangkan dari budaya di kawasan Dunia Arab yang
masih sangat kuat pengaruh budaya keagamaanya. Selain itu banyak keterbatasan
yang terjadi terhadap perempuan berasal dari budaya dan tradisi di kawasan Dunia
Arab yang telah ribuan tahun bertahan di kawasan tersebut. Kendala-kendala utama
yang membuat hambatan terhadap hak-hak perempuan dan kebebasan pada era
modern ini, tercermin dalam hukum berurusan dengan peradilan pidana, ekonomi,
pendidikan dan kesehatan yang masih sering mengaitkan dengan budaya lama,
sehingga perempuan di Dunia Arab masih sering termarjinalkan.
Dalam cerita tradisional arab yaitu kisah 1001 malam, yang di kenal sebagai
cerminan budaya Dunia Arab sering mengaitkan perempuan hanya sebatas seorang
budak belian, selain itu yang sangat erat kaitanya dengan perempuan adalah fitnah
dan tipu daya. Bahkan salah satu kitab suci menyatakan “sesungguhnya tipu daya
perempuan sangat besar” yang semakin menguatkan alasan bahwa tipu daya sudah merupakan tabiatnya.
karena kisah dan interpretasi dari ayat inilah yang menjadikan
perempuan di Dunia Arab bersifat seperti kisah tersebut, dan terpaksa harus menuruti
peraturan budaya yang membatasi ruang gerak mereka dengan dalih menghindarkan
diri dari fitnah dan tipu daya. Selain itu disebutkan dalam sebuah hadist “Perempuan
itu adalah aurat, maka apabila ia keluar,maka syetan membuatnya indah (dalam
pandangan laki-laki).”
3
Sehingga munculah dalam paradigma budaya arab bahwa
perempuan haruslah dikurung dalam dirumah untuk mengurusi suami, anak-anak, dan
keluarganya. Perempuan tidak diperkenankan keluar rumah kecuali untuk hal-hal
yang sangat penting sepeti sakit parah, bila itu terjadi perempuan diharuskan
mengenakan pakaian yang sangat tertutup (biasa dikenal dengan sebutan cadar) dan
harus dikawal seorang laki-laki dari keluarganya.
4
Dari aspek pendidikan perempuan
juga masih jauh dibawah laki-laki, universitas al-azhar yang sering dijadikan symbol
intelektual islam di Dunia Arab hanya dikhususkan untuk laki-laki.
5
Karena termarjinalkan dalam berbagai aspek inilah perempuan Dunia Arab
dalam hal perpolitikan juga mengalami kemujudan, dalam budaya perpolitikan Dunia
Arab yang dulu, perempuan tidak memiliki hak baik bersuara maupun memilih lebih
rendah dibandingkan dengan laki-laki, jika perempuan ingin berpendapat cukup
memalui suami, selain itu perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin dari laki-
laki. Dalam tinjauan sejarah tidak pernah ada seorang perempuan yang memimpin
atau menjadi bagian dari kepemimpinan dalam sebuah kenegaraan, walau pernah
Mesir pernah dipimpin seorang perempuan bernama Syajaratuddur pada masa
dynasty bani abbasyah dengan khilafah al-munstanshir billah (khilafah ke-11 dinasty
bani abbasyah)
6
, namun dengan alasan karena dia perempuan maka dipaksa mundur.
Di sisi lain di Eropa maupun Amerika sedang berkembang pemikiran yang
menuntut tentang hak-hak perempuan yaitu feminisme. Pemikiran feminisme
pertamakali berkembang adalah di inggris pada awal abad 20 saat periode revolusi
industri. Perkembangan feminisme periode awal merupakan perlawaan terhadap
penindasan dan tuntutan atas kesetaraan sosial bagi perempuan yang dapat di
identifikasi secara sah sebagai sifat dasar feminisme. Feminisme didefinisikan oleh
chriss weedon sebagai usaha untuk menghadapi manistfetasi system patiarkal.
Tuntutan awal dari feminisme adalah mengenai kesetaraan pendidikan dan pekerjaan,
mereka menginginkan pendidikan bagi perempuan muda, guna mempersiapkan
mereka agar bisa mandiri di sisi ekonomi, memberikan kebebasan dan martabat, tidak
hanya mampu memikat laki-laki yang sudah mapan.
9
Seiring berkembangnya jaman,
feminisme juga mulai berkembang tidak hanya fokus pada pendidikan dan pekerjaan
saja, melaikan memasuki wilayah pembaharuan atas kesetaraan hak dalam ranah
politik (hak berpendapat, bersuara, dan memilih), sosial dalam hukum perkawinan,
7
8serta peraturan moral seksualitas.
10
Memasuki era 1970-an, telah banyak muncul
feminisme gelombang baru yang bersifat lebih radikal dalam mempaerjuangkan
aspirasinya. Feminis dalam hubungan internasional bertujuan untuk memahami sifat
ketidaksetaraan dan berfokus pada politik gender, hubungan kekuasaan dan
seksualitas dalam arena Internasional.
11
Karena pemikiran feminisme inilah menyebabkan pergerseran budaya yang
memaksa Dunia Arab memberikan hak yang lebih kepada kaum perempuan. Sebagai
contoh di arab Saudi perempuan akan mendapat hak untuk memilih dan dipilih dalam
pemilu seperti di kawasan arab saudi, walaupun hal tersebut baru empat tahun lagi
bisa terlaksana.
12
perempuan Dunia Arab membuktikan mereka layak mendapatkan
perhatian. Guncangnya sistem politik beberapa negara di kawasan yang memicu
gerakan revolusi besar-besaran di Arab atau dikenal sebagai ‘Arab Spring’, menjadi
sebuah kesempatan.
Sejarah
13
dan peradaban Dunia Arab tidak bisa dipisahkan dari kaum
perempuan. Begitu pula yang terjadi di Mesir. Merekalah yang berada di garis
terdepan saat demonstrasi dan revolusi rakyat di Lapangan Tahrir, Kairo, hingga
menjungkalkan diktator Mesir Hosni Mubarak pada 11 Februari lalu. Salah satu hal
yang menyulut kemarahan perempuan di Mesir adalah perlakuan terhadap rekan-
rekan mereka yang ditangkap saat terlibat dalam demonstrasi pada Maret lalu.
Terdapat 18 aktivis perempuan yang ditangkap. Sebanyak 17 orang di antara mereka
mendapat perlakuan tidak menyenangkan atau tak senonoh, termasuk dipaksa
menjalani tes keperawanan. “Perempuan sengaja turun ke Lapangan Tahrir. Mereka
ingin berpartisipasi dalam perencanaan revolusi”. Mereka telah membersihkan
lapangan (Tahrir) dan merawat korban luka. Bahkan, mereka juga tewas saat orang-
orang (demonstran) di lapangan ditembaki (tentara).
14
Dalam protes-protes yang lebih
awal di Mesir, kaum perempuan terhitung hanya sekitar 10 persen dari seluruh
demonstran, tetapi di Tahrir square mereka mencapai sekitar 40 sampai 50 persen
pada hari-hari menjelang kejatuhan Mubarak. Kaum perempuan, dengan atau tanpa
kerudung, berpartisipasi dalam upaya mempertahankan Tahrir square, mendirikan
barikade-barikade, memimpin perdebatan-perdebatan, meneriakkan slogan-slogan,
dan bersama dengan kaum pria, mempertaruhkan nyawa mereka.
C.
15
Kehadiran tokoh
senior feminisme asal mesir yaitu Nawal El Saadawi juga memberikan warna baru
bagi kaum perempuan saat terjadinya revolusi mesir 2011 tersebut.
Pokok Permasalahan
Beradasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis menarik sebuah
pokok permasalahan dalam bentuk pertanyaan
“Bagaimana pengaruh dari pemikiran feminisme yang berawal dari kawasan barat 1T terhadap partisipasi perempuan dalam
revolusi Mesir 2011?”
22.29
Unknown
No comments
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: Pengaruh Pemikiran Feminisme Terhadap Partisipasi Perempuan Dalam Revolusi Mesir
Rating:
0 komentar:
Posting Komentar