Follow me on Facebook! Follow me on Twitter!
 7projectsdistro.com - Toko Kaos Distro Online Terlengkap Termurah dan Terpercaya

KENDALA-KENDALA DALAM PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN SOSIOLOGI Studi Kasus Pada Guru-Guru Sosiologi Di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo

PanduanTOEFL Terbaik dengan Metode MindMap
A. LATAR BELAKANG Kendala-Kendala Dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Sosiologi, Studi Kasus Pada Guru-guru Sosiologi Di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo

Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu untuk kemajuan suatu bangsa. Kualitas pendidikan sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia. Pada negara-negara maju seperti Jepang, Amerika serikat, Jerman, dan Negara Eropa lainnya dapat dilihat bahwa kemajuan yang dicapai berbanding lurus dengan tingkat pendidikannya. Yamin (2005: 21) mengemukakan bahwa peningkatan kualitas manusia telah dicoba di dunia melalui proses pendidikan, karena pendidikanlah yang membuat kesejahteraan umat akan tercapai. Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan merupakan wadah untuk mencerdaskan bangsa, mengembangkan masyarakat dengan berbagai dimensinya. Pengembangan nilai-nilai, Pengetahuan, keterampilan, dan sikap anak didik dalam masyarakat (Danim, 1994: 3). Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga disadari oleh pemerintah Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan ditambahnya dana untuk pendidikan setiap tahunnya, walaupun anggaran yang dialokasikan belum bisa mencapai 20% seperti yang tertuang dalam UU. Akan tetapi peningkatan anggaran tiap tahunnya diharapkan akan bisa mencapai angka tersebut. Beberapa daerah juga telah ada yang mencangkan pendidikan gratis, dengan harapan masyarakat dari semua kalangan dapat mengenyam pendidikan.
Adanya perbaikan kurikulum membuat guru harus memperhatikan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik. Hal ini dikarenakan fenomena yang ada di lapangan menunjukkan sejumlah lulusan dari berbagai institusi pendidikan dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi banyak yang tidak terserap lapangan kerja. Padahal setiap hari terdapat informasi lapangan kerja, tetapi banyak angkatan kerja yang merasa tidak cukup relevan dengan informasi pekerjaan yang ditawarkan.

Sejumlah lulusan merasa terhalang oleh kemampuan bahasa inggris, pengoperasian komputer, dan keterampilan lainnya. Kelihatannya lapangan kerja yang ada saat ini membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai keahlian atau kompetensi. Dengan lapangan pekerjaan yang tidak mementingkan gelar kesarjanaan dari bidang apa, atau berapa indeks prestasinya, dan seterusnya. Adapun yang lebih diperhatikan adalah kemampuan atau keahlian apa yang dimiliki oleh calon tenaga kerja. Oleh karena itu disusunlah kurikulum baru yang menekankan kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik. Jika pada pembelajaran konvesional hanya menitik beratkan kemampuan intelektual melalui cara belajar ingatan. Adapun perkembangan aspek-aspek keterampilan sosial, sikap, dan apresiasi kurang mendapat perhatian (Hamalik, 2005: 11). Kurikulum baru ini menjadikan pengajaran baru dengan pendekatan konstruktivisme. Dimana konsep pengetahuan dibentuk sendiri oleh peserta didik dengan didampingi oleh guru serta tujuan pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotornya.

Guru mempersiapkan pengelolaan pembelajaran dengan baik meliputi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Hal ini dilakukan supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai. Konsep pembelajaran yang baru secara otomatis juga mempengaruhi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kegiatan pembelajaran, termasuk mata pelajaran Sosiologi yang telah berdiri sendiri sebagai mata pelajaran sejak tahun 1994. Sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sudah relatif lama berkembang di lingkungan akademis. Secara teoritik idealnya memiliki posisi strategis dalam membahas masalah-masalah sosial yang berkembang dalam masyarakat. Jadi, pelajaran Sosiologi harus semakin tanggap dan peka terhadap perkembangan di masyarakat dan selalu siap dengan pemikiran kritis untuk menjawab tantangan dan masalah yang ada. Sosiologi semakin dituntut untuk tanggap terhadap isu globalisasi (Tim penulis kurikulum, 2003: 6).
Besarnya manfaat belajar Sosiologi bagi peserta didik ternyata berbanding terbalik dalam praktek pembelajaran di lapangan. Di mana stereotif yang kurang menyenangkan ternyata telah melekat pada pelajaran Sosiologi yang termasuk ke dalam bidang IPS. Kedudukan IPS termarginalkan di bandingkan bidang IPA di sekolah. IPS dianggap tempat bagi siswa yang nakal serta tidak bisa masuk IPA. IPA identik dengan siswa yang pintar dan rajin. Adanya anggapan ilmu sosial adalah pelajaran yang mengandalkan hafalan dan penalaran berfikir. Siapapun dapat memahaminya tanpa perlu banyak belajar dan berusaha. Adapun ilmu pasti atau ilmu alam pasti membutuhkan banyak belajar guna menghadapi rumus- rumusnya. Hal ini tentunya juga berakibat terhadap psikis dan sudut pandang peserta didik yang tidak menguntungkan pada mata pelajaran Sosiologi Sosiologi yang termasuk dalam ilmu sosial ternyata dianggap membosankan oleh sebagian siswa karena sajiannya yang monoton dan terlalu abstrak. Adapun untuk menguasainya dibutuhkan kemampuan menghafal yang tinggi. Stereotif yang tidak menyenagkan ini terbentuk sebagai akibat masa lampau (pengajaran konvensional) yang dalam penyajiannya tidak relevan dengan konteks sosial siswa. Sering ditemukan guru-guru Sosiologi yang kurang mampu menghubungkan relevansi pelajaran dengan kenyataan praktis dan keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lain dalam mengeksplorasi bahan pembelajaran. Ketika guru menyajikan sejumlah teori sosial membuat peserta didik semakin bingung, karena tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan situasi sosial lingkungan sekitarnya. Peserta didik berpikir dua kali untuk mengasosiasikan teori dengan kenyataan hidupnya dan selanjutnya mencerna teori sajian guru, sehingga menyebabkan keterlambatan dalam menginternalisasi materi pelajaran (Xaviery: 2004). Situasi dan kondisi belajar yang tidak nyaman dan kurang variatif seperti penggunaan metode ceramah yang kerap digunakan guru, minimnya penggunaan media, dan lain-lain juga semakin memperparah keadaan. Para guru cenderung menggunakan model konvensional, yang paling umum diterapkan di sekolah. Rasa tidak suka yang dimiliki oleh peserta didik secara otomatis menyebabkan motivasi belajar menurun dan mengakibatkan kesulitan untuk memahami Sosiologi semakin bertambah. Jika diadakan evaluasi para siswa tidak mengerti, sehingga pada akhirnya peserta didik menyimpulkan bahwa mata pelajaran Sosiologi sulit dan menjenuhkan. Dengan adanya pembelajaran baru seperti telah disebutkan sebelumnya yang tertuang dalam kurikulum 2004 dan 2006 diharapkan dapat merubah pembelajaran Sosiologi menjadi menyenangkan dan bermakna bagi peserta didik. Jadi stereotif negatif yang lama melekat pada pelajaran ilmu sosial termasuk Sosiologi sedikit demi sedikit akan memudar. Akan tetapi berdasarkan kenyataan di lapangan, ternyata sebagian besar guru masih menggunakan model pembelajaran konservatif. Dimana perencanaan pembelajaran belum disusun, penggunaan metode ceramah yang masih menjadi andalan, belum optimalnya penggunaan media pembelajaran, sumber belajar yang hanya terpaku pada buku paket pelajaran, sampai pada penilaian yang belum mengacu pada pembelajaran yang baru. Begitu juga yang terjadi pada pembelajaran Sosiologi, dan ternyata hal serupa juga masih terjadi di banyak sekolah.

Keberadaan guru-guru sosiologi yang sebagian besar berlatar belakang bukan dari disiplin Sosiologi memang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan perguruan tinggi keguruan yang terdapat disiplin ilmu Sosiologi masih terbatas. Jadi lulusannya tidak seimbang dengan tenaga guru Sosiologi yang dibutuhkan di sekolah-sekolah. Guru-guru pengampu Sosiologi sebagian besar berasal dari bidang Sejarah, Geografi, PPKn, bahkan PKK. Hal ini tentunya mempengaruhi pembelajaran Sosiologi di sekolah. Para guru tersebut kurang mendalami Sosiologi, ditambah dengan buku paket pelajaran Sosiologi yang menjadi panduan dan sumber satu-satunya untuk mengajar. Padahal buku paket itu kerap kali kurang mengena dengan fokus ilmu Sosiologi. Hal tersebut karena karena penulisnya tidak lain adalah guru Sosiologi yang tergabung dalam MGMP Sosiologi yang bukan berasal dari latar belakang pendidikan Sosiologi. Pada akhirnya pesan yang disampaikan guru kepada peserta didik menjadi kurang optimal, yang tentunya akan mengganggu proses pembelajaran. Dengan berbagai masalah tersebut di atas menjadikan sebagian besar guru Sosiologi merasa kesulitan untuk mengembangkan model pembelajaran yang mengacu pada kurikulum 2004 atau 2006. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mencari tahu kendala-kendala yang dirasakan oleh Guru Sosiologi dalam pembelajaran. Peneliti memilih Wonosobo sebagai lokasi penelitian dengan asumsi bahwa hampir di semua tempat keberadaan guru Sosiologi dengan disiplin ilmu Sosiologi masih sangat terbatas. Dibeberapa kabupaten/ kota bahkan tidak ada guru Sosiologi yang berlatar belakang pendidikan Sosiologi. Di Kabupaten Wonosobo terdapat dua guru dengan disiplin Sosiologi. Disamping itu Wonosobo merupakan kota kecil dimana akses untuk memperoleh informasi juga masih terbatas, sehingga menambah urutan kendala yang dihadapi oleh guru Sosiologi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Kendala-Kendala Dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Sosiologi, Studi Kasus Pada Guru-guru Sosiologi Di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo”.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana profil guru Sosiologi di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo?
2. Bagaimana kemampuan guru dalam pembelajaran Sosiologi di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo?
3. Kendala-kendala apa yang dihadapi guru dalam pembelajaran Sosiologi di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo?

Like Skripsi Ini :

Baca Juga Judul Menarik Lainnya di Bawah INI :

Comment With Facebook!

Rating: 4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: KENDALA-KENDALA DALAM PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN SOSIOLOGI Studi Kasus Pada Guru-Guru Sosiologi Di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo