Latar Belakang Masalah STUDI ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN ANTAR AGAMA
Allah SWT menciptakan dunia dan seluruh makhluk yang mendiami
jagad raya ini dibentuk dan dibangun dalam kondisi berpasang-pasangan. Ada
gelap dan terang, ada kaya dan miskin. Demikian pula manusia diciptakan
dalam berpasangan yaitu ada pria dan wanita. Pria dan wanita diciptakan
dengan disertai kebutuhan biologis.
Dalam memenuhi kebutuhan biologis ada aturan-aturan tertentu yang
harus dipenuhi dan bila dilanggar mempunyai sanksi baik di dunia maupun di
akhirat. Sanksi yang dimaksud yaitu manakala pria dan wanita dalam
memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa diikat oleh suatu tali pernikahan.
Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah pihak
saling menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam menempuh
bahtera rumah tangga. Namun demikian, pernikahan itu sendiri mempunyai
syarat dan rukun yang sudah ditetapkan baik dalam al-Qur’an maupun dalam
Hadis. Menurut Sayuti Thalib perkawinan ialah perjanjian suci membentuk
keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Mahmud Yunus menegaskan, perkawinan ialah akad antara calon laki istri
untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.
Sedangkan Zahry Hamid merumuskan nikah menurut syara ialah akad (ijab
qabul) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu
dan memenuhi rukun serta syaratnya.
Sementara
Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah
mengungkapkan menurut bahasa, nikah berarti penyatuan. Diartikan juga
sebagai akad atau hubungan badan. Selain itu, ada juga yang mengartikannya
dengan percampuran.
As Shan’ani dalam kitabnya memaparkan bahwa an-nikah menurut
pengertian bahasa ialah penggabungan dan saling memasukkan serta
percampuran. Kata “nikah” itu dalam pengertian “persetubuhan” dan “akad”.
Ada orang yang mengatakan “nikah” ini kata majaz dari ungkapan secara
umum bagi nama penyebab atas sebab. Ada juga yang mengatakan bahwa
“nikah” adalah pengertian hakekat bagi keduanya, dan itulah yang
dimaksudkan oleh orang yang mengatakan bahwa kata “nikah” itu musytarak
bagi keduanya. Kata nikah banyak dipergunakan dalam akad. Ada pula yang
mengatakan bahwa dalam kata nikah itu terkandung pengertian hakekat yang
bersifat syar’i. Tidak dimaksudkan kata nikah itu dalam al-Qur’an kecuali
dalam hal akad.
Dari berbagai pengertian di atas, meskipun redaksinya berbeda akan
tetapi ada pula kesamaannya. Karena itu dapat disimpulkan perkawinan ialah
suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-
laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara
yang diridhai Allah SWT. Dalam konteks ini Rasulullah bersabda:
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Sa'id bin Abi Maryam telah memberitahu kepada kami dari Muhammad bin Ja'far dari Himaid bin Abi Humaid ath-Thawail, sesungguhnya dia telah mendengar dari Anas bin Malik r.a., katanya: Ada tiga orang laki-laki datang berkunjung ke rumah isteri-isteri Nabi saw; bertanya tentang ibadat beliau. Setelah diterangkan kepada mereka, kelihatan bahwa mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan Nabi itu terlalu sedikit. Mereka berkata: "Kita tidak dapat disamakan dengan Nabi. Semua dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni, Allah." Salah seorang dari mereka berkata: "Untuk saya, saya akan selalu sembahyang sepanjang malam selamalamanya."
Orang kedua berkata: "Saya akan berpuasa setiap hari, tidak pernah berbuka." Orang ketiga berkata: "Saya tidak akan pernah mendekati wanita. Saya tidak akan kawin selama-lamanya." Setelah itu Rasulullah saw. datang. Beliau berkata: "Kamukah orangnya yang berkata begini dan begitu? Demi Allah! Saya lebih takut dan lebih bertaqwa kepada Tuhan dibandingkan dengan kamu. Tetapi saya berpuasa dan berbuka. Saya sembahyang dan tidur, dan saya kawin. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnahku, tidak termasuk ke dalam golonganku." (HR. al-Bhukhari)
Dari hadis di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
menyukai seseorang yang berprinsip anti menikah. Namun demikian dalam
prakteknya tidak sedikit adanya hubungan muda-mudi yang berbeda agama
yaitu muslim dengan non muslim. Hubungan itu tidak menutup kemungkinan
sampai pada jenjang pernikahan. Masalah yang muncul, apakah hukumnya
sah perkawinan muslim dengan non muslim?
Peristiwa di atas berarti menyangkut perkawinan antar agama yang
menurut Masjfuk Zuhdi, yaitu perkawinan antarorang yang berlainan agama,
dalam hal ini, perkawinan orang beragama Islam (pria/wanita) dengan orang
beragama non Islam (pria/wanita).
ini dapat terjadi antara
Perkawinan antaragama yang dimaksud
1. Calon istri beragama Islam dan calon suami tidak beragama Islam, baik
"ahlulkitab" maupun musyrik.
2. Calon suami beragama Islam dan calon istri tidak beragama Islam, baik
ahlulkitab maupun musyrik.
Akibat hukum dari perkawinan antaragama adalah sebagai berikut: apabila
perkawinan antaragama terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan
laki-laki yang tidak beragama Islam, baik musyrik maupun ahlul kitab, maka
para ulama imamiyah – sebagaimana halnya dengan keempat mazhab lainnya
– sepakat bahwa wanita muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki non
muslim meskipun ahli kitab.
Hal ini berarti apabila perkawinan antaragama
terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan laki-laki yang tidak
beragama Islam, baik musyrik maupun ahlulkitab, maka ulama fikih sepakat
hukumnya tidak sah.
(2) ayat 221:
Alasannya adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah
Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Artinya: …Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-
orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka… (Q.S. Mumtahanah: 10).
Apabila perkawinan terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan
musyrik, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukumnya tidak sah.
Argumen yang dikemukakan adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah (2)
ayat 221. Ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan
musyrik itu. Selanjutnya apabila perkawinan terjadi antara laki-laki beragama
Islam dan perempuan yang tergolong ahlul kitab, terdapat beberapa pendapat
di antara ulama fikih:
a. Umar bin al-Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M) melarang perkawinan
antara laki-laki muslim dan perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya,
Allah SWT telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan
musyrik dan ia tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari
seseorang yang beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT
yang lainnya adalah Tuhannya.
b. Jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan
perempuan ahlul kitab. Argumen mereka adalah pertama, penjelasan yang
terdapat dalam Al-Qur'an dalam surah al-Ma'idah ayat 5 dan kedua,
pendapat Sayid Sabiq, ahli fikih di Mesir, yang menjelaskan bahwa
sekalipun boleh mengawini wanita ahlul kitab. namun hukumnya makruh.
Sekalipun jumhur ulama fikih sepakat tentang kebolehan seorang laki-laki
beragama Islam mengawini wanita ahlul kitab, namun mereka berbeda
pendapat dalam menentukan wanita ahlul kitab itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan perkawinan antar agama, menurut al-
Syafi'i bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non
muslim, akan tetapi dibolehkan menikah antara laki-laki muslim dengan ahli
kitab. Hal ini ia nyatakan dalam kitabnya yaitu:
Artinya: wanita muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-laki
musyrik dengan keadaan apa pun, dan wanita musyrik itu kadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islam dengan sesuatu hal dan wanita itu wanita kitabi.
Dalam kaitannya dengan ahli kitab, menurut Al-Syafi'i, yang termasuk
ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang
Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain sekalipun penganut agama Yahudi
dan atau Nasrani. Di antara alasan yang diajukan adalah
(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang
bangsa Israel; dan
(2). Lafal min qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma'idah (5)
ayat 5 menunjuk kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa
Israel.
Pendapat al-Syafi'i di atas dapat dijumpai dalam kitabnya yang pada
intinya menyatakan:
Artinya: siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan Nasrani dari
orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakan sembelihannya dan halal dikawini wanitanya.
Mengingat kondisi yang demikian, maka terasa masih relevan
membicarakan perkawinan antar agama, karena perkawinan merupakan
sesuatu yang penting. Kecuali itu, masih banyak orang yang belum
memahaminya secara tepat, terutama di kalangan generasi muda. Di sinilah
terletak, antara lain urgennya mengkaji pendapat al-Syafi'i.
Berdasarkan uraian di atas mendorong diangkatnya tema ini dengan
judul: Studi Analisis Pendapat Al-Syafi'i dalam Kitab al-Umm tentang
Perkawinan Antar Agama
A. Perumusan Masalah
Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.
tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:
1. Bagaimana pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama?
2. Bagaimana metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan antar
agama?
23.30
Unknown
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: STUDI ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN ANTAR AGAMA
Rating: