A. LATAR BELAKANG Kendala-Kendala Dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Sosiologi, Studi Kasus Pada Guru-guru Sosiologi Di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu untuk kemajuan suatu
bangsa. Kualitas pendidikan sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya
manusia. Pada negara-negara maju seperti Jepang, Amerika serikat, Jerman, dan
Negara Eropa lainnya dapat dilihat bahwa kemajuan yang dicapai berbanding
lurus dengan tingkat pendidikannya. Yamin (2005: 21) mengemukakan bahwa
peningkatan kualitas manusia telah dicoba di dunia melalui proses pendidikan,
karena pendidikanlah yang membuat kesejahteraan umat akan tercapai.
Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan merupakan wadah untuk
mencerdaskan bangsa, mengembangkan masyarakat dengan berbagai dimensinya.
Pengembangan nilai-nilai, Pengetahuan, keterampilan, dan sikap anak didik dalam
masyarakat (Danim, 1994: 3).
Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga disadari oleh pemerintah
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan ditambahnya dana untuk pendidikan setiap
tahunnya, walaupun anggaran yang dialokasikan belum bisa mencapai 20%
seperti yang tertuang dalam UU. Akan tetapi peningkatan anggaran tiap tahunnya
diharapkan akan bisa mencapai angka tersebut. Beberapa daerah juga telah ada
yang mencangkan pendidikan gratis, dengan harapan masyarakat dari semua
kalangan dapat mengenyam pendidikan.
Adanya perbaikan kurikulum membuat guru harus memperhatikan
kompetensi yang harus dimiliki peserta didik. Hal ini dikarenakan fenomena yang
ada di lapangan menunjukkan sejumlah lulusan dari berbagai institusi pendidikan
dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi banyak yang tidak terserap
lapangan kerja. Padahal setiap hari terdapat informasi lapangan kerja, tetapi
banyak angkatan kerja yang merasa tidak cukup relevan dengan informasi
pekerjaan yang ditawarkan.
Sejumlah lulusan merasa terhalang oleh kemampuan bahasa inggris,
pengoperasian komputer, dan keterampilan lainnya. Kelihatannya lapangan kerja
yang ada saat ini membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai keahlian atau
kompetensi. Dengan lapangan pekerjaan yang tidak mementingkan gelar
kesarjanaan dari bidang apa, atau berapa indeks prestasinya, dan seterusnya.
Adapun yang lebih diperhatikan adalah kemampuan atau keahlian apa yang
dimiliki oleh calon tenaga kerja. Oleh karena itu disusunlah kurikulum baru yang
menekankan kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik.
Jika pada pembelajaran konvesional hanya menitik beratkan kemampuan
intelektual melalui cara belajar ingatan. Adapun perkembangan aspek-aspek
keterampilan sosial, sikap, dan apresiasi kurang mendapat perhatian (Hamalik,
2005: 11). Kurikulum baru ini menjadikan pengajaran baru dengan pendekatan
konstruktivisme. Dimana konsep pengetahuan dibentuk sendiri oleh peserta didik
dengan didampingi oleh guru serta tujuan pengembangan aspek kognitif, afektif,
dan psikomotornya.
Guru mempersiapkan pengelolaan pembelajaran dengan baik meliputi
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Hal ini dilakukan supaya
tujuan pembelajaran dapat tercapai. Konsep pembelajaran yang baru secara
otomatis juga mempengaruhi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kegiatan
pembelajaran, termasuk mata pelajaran Sosiologi yang telah berdiri sendiri
sebagai mata pelajaran sejak tahun 1994.
Sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sudah relatif lama berkembang di
lingkungan akademis. Secara teoritik idealnya memiliki posisi strategis dalam
membahas masalah-masalah sosial yang berkembang dalam masyarakat. Jadi,
pelajaran Sosiologi harus semakin tanggap dan peka terhadap perkembangan di
masyarakat dan selalu siap dengan pemikiran kritis untuk menjawab tantangan
dan masalah yang ada. Sosiologi semakin dituntut untuk tanggap terhadap isu
globalisasi (Tim penulis kurikulum, 2003: 6).
Besarnya manfaat belajar Sosiologi bagi peserta didik ternyata berbanding
terbalik dalam praktek pembelajaran di lapangan. Di mana stereotif yang kurang
menyenangkan ternyata telah melekat pada pelajaran Sosiologi yang termasuk ke
dalam bidang IPS. Kedudukan IPS termarginalkan di bandingkan bidang IPA di
sekolah. IPS dianggap tempat bagi siswa yang nakal serta tidak bisa masuk IPA.
IPA identik dengan siswa yang pintar dan rajin. Adanya anggapan ilmu sosial
adalah pelajaran yang mengandalkan hafalan dan penalaran berfikir. Siapapun
dapat memahaminya tanpa perlu banyak belajar dan berusaha. Adapun ilmu pasti
atau ilmu alam pasti membutuhkan banyak belajar guna menghadapi rumus-
rumusnya. Hal ini tentunya juga berakibat terhadap psikis dan sudut pandang
peserta didik yang tidak menguntungkan pada mata pelajaran Sosiologi
Sosiologi yang termasuk dalam ilmu sosial ternyata dianggap
membosankan oleh sebagian siswa karena sajiannya yang monoton dan terlalu
abstrak. Adapun untuk menguasainya dibutuhkan kemampuan menghafal yang
tinggi. Stereotif yang tidak menyenagkan ini terbentuk sebagai akibat masa
lampau (pengajaran konvensional) yang dalam penyajiannya tidak relevan dengan
konteks sosial siswa.
Sering ditemukan guru-guru Sosiologi yang kurang mampu
menghubungkan relevansi pelajaran dengan kenyataan praktis dan keterkaitannya
dengan ilmu-ilmu lain dalam mengeksplorasi bahan pembelajaran. Ketika guru
menyajikan sejumlah teori sosial membuat peserta didik semakin bingung, karena
tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan situasi sosial lingkungan sekitarnya.
Peserta didik berpikir dua kali untuk mengasosiasikan teori dengan kenyataan
hidupnya dan selanjutnya mencerna teori sajian guru, sehingga menyebabkan
keterlambatan dalam menginternalisasi materi pelajaran (Xaviery: 2004).
Situasi dan kondisi belajar yang tidak nyaman dan kurang variatif seperti
penggunaan metode ceramah yang kerap digunakan guru, minimnya penggunaan
media, dan lain-lain juga semakin memperparah keadaan. Para guru cenderung
menggunakan model konvensional, yang paling umum diterapkan di sekolah.
Rasa tidak suka yang dimiliki oleh peserta didik secara otomatis menyebabkan
motivasi belajar menurun dan mengakibatkan kesulitan untuk memahami
Sosiologi semakin bertambah. Jika diadakan evaluasi para siswa tidak mengerti,
sehingga pada akhirnya peserta didik menyimpulkan bahwa mata pelajaran
Sosiologi sulit dan menjenuhkan.
Dengan adanya pembelajaran baru seperti telah disebutkan sebelumnya
yang tertuang dalam kurikulum 2004 dan 2006 diharapkan dapat merubah
pembelajaran Sosiologi menjadi menyenangkan dan bermakna bagi peserta didik.
Jadi stereotif negatif yang lama melekat pada pelajaran ilmu sosial termasuk
Sosiologi sedikit demi sedikit akan memudar.
Akan tetapi berdasarkan kenyataan di lapangan, ternyata sebagian besar
guru masih menggunakan model pembelajaran konservatif. Dimana perencanaan
pembelajaran belum disusun, penggunaan metode ceramah yang masih menjadi
andalan, belum optimalnya penggunaan media pembelajaran, sumber belajar yang
hanya terpaku pada buku paket pelajaran, sampai pada penilaian yang belum
mengacu pada pembelajaran yang baru. Begitu juga yang terjadi pada
pembelajaran Sosiologi, dan ternyata hal serupa juga masih terjadi di banyak
sekolah.
Keberadaan guru-guru sosiologi yang sebagian besar berlatar belakang
bukan dari disiplin Sosiologi memang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan
perguruan tinggi keguruan yang terdapat disiplin ilmu Sosiologi masih terbatas.
Jadi lulusannya tidak seimbang dengan tenaga guru Sosiologi yang dibutuhkan di
sekolah-sekolah. Guru-guru pengampu Sosiologi sebagian besar berasal dari
bidang Sejarah, Geografi, PPKn, bahkan PKK. Hal ini tentunya mempengaruhi
pembelajaran Sosiologi di sekolah. Para guru tersebut kurang mendalami Sosiologi, ditambah dengan buku
paket pelajaran Sosiologi yang menjadi panduan dan sumber satu-satunya untuk
mengajar. Padahal buku paket itu kerap kali kurang mengena dengan fokus ilmu
Sosiologi. Hal tersebut karena karena penulisnya tidak lain adalah guru Sosiologi
yang tergabung dalam MGMP Sosiologi yang bukan berasal dari latar belakang
pendidikan Sosiologi. Pada akhirnya pesan yang disampaikan guru kepada peserta
didik menjadi kurang optimal, yang tentunya akan mengganggu proses
pembelajaran.
Dengan berbagai masalah tersebut di atas menjadikan sebagian besar guru
Sosiologi merasa kesulitan untuk mengembangkan model pembelajaran yang
mengacu pada kurikulum 2004 atau 2006. Hal inilah yang mendorong peneliti
untuk mencari tahu kendala-kendala yang dirasakan oleh Guru Sosiologi dalam
pembelajaran.
Peneliti memilih Wonosobo sebagai lokasi penelitian dengan asumsi
bahwa hampir di semua tempat keberadaan guru Sosiologi dengan disiplin ilmu
Sosiologi masih sangat terbatas. Dibeberapa kabupaten/ kota bahkan tidak ada
guru Sosiologi yang berlatar belakang pendidikan Sosiologi. Di Kabupaten
Wonosobo terdapat dua guru dengan disiplin Sosiologi. Disamping itu Wonosobo
merupakan kota kecil dimana akses untuk memperoleh informasi juga masih
terbatas, sehingga menambah urutan kendala yang dihadapi oleh guru Sosiologi.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka judul yang dipilih dalam
penelitian ini adalah “Kendala-Kendala Dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Sosiologi, Studi Kasus Pada Guru-guru Sosiologi Di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana profil guru Sosiologi di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo?
2. Bagaimana kemampuan guru dalam pembelajaran Sosiologi di SMA Negeri
Kabupaten Wonosobo?
3. Kendala-kendala apa yang dihadapi guru dalam pembelajaran Sosiologi di
SMA Negeri Kabupaten Wonosobo?
23.14
Unknown
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: KENDALA-KENDALA DALAM PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN SOSIOLOGI Studi Kasus Pada Guru-Guru Sosiologi Di SMA Negeri Kabupaten Wonosobo
Rating: