1.1 Latar Belakang Hubungan antara Pengetahuan Ibu dan Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI dengan Status Gizi Balita Usia 4-24 Bulan di Desa Sendangharjo Kecamatan Blora
Dalam Undang-undang tentang Kesehatan No. 23/1992 pasal 17 ayat (2)
yang mengatur penyelenggaraan kesehatan anak, menyebutkan peningkatan
kesehatan anak dilakukan sejak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia
prasekolah dan usia sekolah (UU Kesehatan RI No. 23 Tahun 1992, pasal 17).
Dalam tumbuh kembang anak, makanan merupakan kebutuhan yang
terpenting. Kebutuhan anak berbeda dengan kebutuhan orang dewasa, karena
makanan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan (Soetjiningsih,
1995:6). Pada masa balita, anak sedang mengalami proses pertumbuhan yang
sangat pesat sehingga memerlukan zat- zat makanan yang relatif lebih banyak
dengan kualitas yang lebih tinggi. Hasil pertumbuhan menjadi dewasa, sangat
tergantung dari kondisi gizi dan kesehatan sewaktu masa balita. Gizi kurang atau
gizi buruk pada bayi dan anak- anak terutama pada umur kurang dari 5 tahun
dapat berakibat terganggunya pertumbuhan jasmani dan kecerdasan otak (Ahmad
Djaeni,2000:239).
Di masa bayi ASI merupakan makanan terbaik dan utama karena
mempunyai kandungan zat kekebalan yang sangat diperlukan untuk melindungi
bayi dari berbagai penyakit terutama penyakit infeksi. Namun seiring
pertumbuhan bayi, maka bertambah pula kebutuhan gizinya, sebab itu sejak usia
4-6 bulan, bayi mulai diberi makanan pendamping ASI (MP-ASI) (Jihat
Santoso,2005).
Makanan pendamping ASI diberikan mulai umur 4 bulan sampai 24 bulan. Semakin meningkat umur bayi/ anak, kebutuhan zat gizi semakin bertambah untuk tumbuh kembang anak, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000:5).
Masalah gizi di Indonesia yang terbanyak meliputi gizi kurang atau yang mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Prevalensi kurang gizi di Jawa Tengah, terutama pada bayi dibawah 5 tahun dinilai masih tinggi. Pada tahun 2002, tercatat sebanyak 4.378 balita atau 1,51 % balita di Jawa Tengah bergizi buruk. Sebanyak 40.255 balita atau 13,88% balita bergizi kurang (Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2003).
Upaya peningkatan status kesehatan dan gizi bayi atau anak melalui perbaikan perilaku masyarakat dalam pemberian makanan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upaya perbaikan gizi secara menyeluruh (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan RI, 2000: 1).
Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat. Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada anak usia dibawah 2 tahun ( Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan RI, 2000: 1).
Kekurangan Energi Protein (KEP) dapat terjadi baik pada bayi, anak- anak maupun orang dewasa. Anak- anak serta ibu yang sedang mengandung dan sedang menyusui merupakan golongan yang sangat rawan. Usia 2-3 tahun merupakan usia yang sangat rawan karena pada usia ini merupakan masa peralihan dari ASI ke pengganti ASI atau ke makanan sapihan dan paparan terhadap infeksi mulai meningkat karena anak mulai aktif sehingga energi yang dibutuhkan relatif tinggi karena kecepatan pertumbuhannya. Makanan sapihan pada umumnya mengandung karbohidrat dalam jumlah besar tetapi sangat sedikit kandungan proteinnya atau sangat rendah mutu proteinnya, justru pada usia tersebut protein sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan anak (Winarno, 2002: 46).
Dalam periode pemberian Makanan Pendamping ASI, bayi tergantung
sepenuhnya pada perawatan dan pemberian makanan oleh ibunya. Oleh karena itu
pengetahuan dan sikap ibu sangat berperanan, sebab pengetahuan tentang
Makanan Pendamping ASI dan sikap yang baik terhadap pemberian Makanan
Pendamping ASI akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu yang
baik untuk dikonsumsi oleh bayinya. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang
maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang
diperolehnya untuk dikonsumsi (Ahmad Djaeni, 2000:12-13). Pada keluarga
dengan pengetahuan tentang Makanan Pendamping ASI yang rendah seringkali
anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan
gizi balita karena ketidaktahuan.
Pada umumnya anak-anak yang masih kecil (balita) mendapat makanannya
secara dijatah oeh ibunya dan tidak memilih serta mengambil sendiri mana yang
disukainya (Ahmad Djaeni, 2000:12). Untuk dapat menyusun menu yang adekuat,
seseorang perlu memiliki pengetahuan mengenai bahan makanan dan zat gizi,
kebutuhan gizi seseorang serta pengetahuan hidangan dan pengolahannya.
Umumnya menu disusun oleh ibu (Soegeng Santoso dan Anna Lies Ranti,
1999:123). Persentase status gizi balita khususnya kabupaten Blora pada tahun
2003/2004 tercatat sebesar 4,28 % balita berstatus gizi buruk, 18,09% balita
berstatus gizi kurang, dan 71,41% balita berstatus gizi baik serta 6,22 % balita
dengan gizi lebih. Kabupaten ini merupakan kabupaten dengan jumlah balita gizi
buruk terbanyak dibandingkan dengan kabupaten lain (Pradipta, 2005). Jumlah
balita yang dinyatakan gizi buruk di kabupaten Blora pada bulan Juli tahun 2005
mencapai 801 bayi, sehingga perlu diadakan perbaikan status gizi, salah satunya
yaitu dengan memperhatikan pemberian makanan bayi atau balita dengan tepat
dan sesuai kebutuhan mereka.
Berdasarkan hasil laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Blora tahun 2006,
menyebutkan bahwa di seluruh kabupaten Blora termasuk daerah yang rawan gizi.
Di setiap kecamatan terdapat balita dengan status gizi kurang maupun gizi buruk.
Dari laporan tersebut, jumlah balita dengan status gizi buruk sebesar 2,1 %,
sedangkan status gizi kurang sebesar 12,5% (Profil Dinkes Blora, 2006).
Desa Sendangharjo merupakan salah satu desa yang termasuk dalam
kecamatan Blora kabupaten Blora, desa Sendangharjo termasuk desa yang rawan
gizi. Dengan status gizi kurang sebesar 4,7 % sebanyak 8 anak dan gizi buruk
sebesar 1,2 % sebanyak 2 anak untuk tahun 2006. Jika dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya status gizi kurang dan gizi buruk di desa Sendangharjo
mengalami penurunan yaitu pada tahun 2004 gizi kurang sebesar 6,7 % dan tahun
2005 sebesar 5,3 %. Sedangkan gizi buruk pada tahun 2004 2,2 % untuk tahun
2005 turun menjadi 1,3 %.
Berorientasi dari hal tersebut, tingkat pengetahuan ibu tentang makanan
pendamping ASI,dan pola pemberian makanan pendamping ASI serta status gizi
balita merupakan masalah yang penting untuk dikaji lebih dalam, untuk itu perlu
diadakan suatu penelitian yang mengkaji tentang masalah tersebut dengan judul “
Hubungan antara Pengetahuan Ibu dan Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI dengan Status Gizi Balita Usia 4-24 Bulan di Desa Sendangharjo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Tahun 2007”.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1.2.1 Umum
Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang makanan pendamping
ASI dan pola pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi balita usia
4-24 bulan di desa Sendangharjo kecamatan Blora kabupaten Blora.
1.2.2 Khusus
1.2.2.1 Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang makanan pendamping
ASI dengan status gizi balita usia 4-24 bulan di desa Sendangharjo
kecamatan Blora Kabupaten Blora?
1.2.2.2 Adakah hubungan antara pola pemberian makanan pendamping ASI
dengan status gizi balita usia 4-24 bulan di desa Sendangharjo kecamatan
Blora Kabupaten Blora?
23.18
Unknown
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN IBU DAN POLA PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI DENGAN STATUS GIZI BALITA USIA 4-24 BULAN DI DESA SENDANGHARJO KECAMATAN BLORA
Rating: