A. LATAR BELAKANG MASALAH Konflik Kehidupan Seorang Clubber
Dunia malam. Dua patah kata ini rasanya semakin sering beredar di telinga
kita, dan semakin banyak pula sosok-sosok yang melakoni kehidupan dalam dunia
malam tersebut. Hal tersebut tampak wajar, karena seiring dengan berjalannya
waktu, kota-kota besar di Indonesia seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
dan Surabaya telah mengalami berbagai perkembangan sebagai cerminan dari
sebuah keberhasilan ekonomi nasional, dan bersamaan dengan kemajuan
pertumbuhan kota tersebut, bermunculanlah berbagai sarana hiburan, yang
menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat (Ghazali, 2004). Demi
mengimbangi kebutuhan masyarakat yang haus akan hiburan, hadirlah berbagai
macam sarana hiburan, terutama sarana hiburan dunia malam, mulai dari kelas
bawah sampai yang mewah, seperti klub-klub malam atau diskotik, pub, kafe, dan
lain sebagainya yang muncul bak menjamur di kota-kota besar tersebut.
Dewasa ini, aktivitas malam telah menjadi bagian yang sangat penting
dalam konsumsi hidup anak muda (Hollands, 1995; Chatterton and Hollands,
2001; dalam Malbon, 1999). Demi menghilangkan kejenuhan atau justru telah
menjadi sebuah kebiasaan, mendatangi tempat hiburan malam tentunya membawa
kepuasan tersendiri bagi para penikmatnya. Salah satu tempat yang banyak dipilih
oleh kawula muda adalah diskotik. Untuk saat ini diskotik masih menjadi pilihan
utama dalam industri hiburan malam (Stevenio, 2007). Diskotik, menurut Mintel (1996) sering juga disebut sebagai klub malam atau nightclub (dalam Malbon,
1999) dan tidak membedakan klub malam (nightclub) dengan diskotik ketika
mengukur luasnya pasar dan mendefenisikan keduanya sebagai ‘bangunan yang
menawarkan musik, minuman, makanan, tempat berdansa dan tempat duduk-
duduk (bersantai) dalam satu atap’.
Aktivitas mengunjungi klub malam tersebut kerapkali didengungkan
orang-orang dengan istilah clubbing. Berdasarkan kamus online (2008),
disebutkan bahwa clubbing adalah perilaku menghadiri klub atau mengikuti
kegiatan-kegiatan di dalam klub atau ikut serta di dalam tujuan tertentu dari klub.
Clubbing, sebuah kata kerja yang berasal dari kata Club, berarti pergi ke klub-
klub pada akhir pekan untuk mendengarkan musik (biasanya bukan live music) di
akhir pekan untuk melepaskan kepenatan dan semua beban ritual sehari-hari. Di
Indonesia, clubbing sering juga disebut dugem (dunia gemerlap) karena tidak
lepas dari kilatan lampu disko yang gemerlap dan dentuman musik techno yang
dimainkan oleh para DJ (Disc Jockey) yang terkadang datang dari luar negeri
(dalam ‘Psychemate’, 2007). Clubbing dan club cultures sering disebut juga
‘raving’, ‘dance culture’, dan ‘nightclubbing’ (Malbon, 1999). Untuk selanjutnya,
peneliti akan menggunakan istilah clubbing.
Bagi sebagian orang, aktivitas clubbing sangat penting dalam
kehidupannya. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Jackson (2003),
bahwa clubbing merupakan fenomena jasmani dan mendalam, hal tersebut adalah
aktivitas kesenangan yang memungkinkan kita untuk menggoyangkan tubuh
dalam kehidupan sehari-hari dan merekreasikan pengalaman kita tentang dunia. Clubbing merupakan alternatif untuk mengisi waktu di akhir pekan. Biasanya,
mereka duduk-duduk di kafe, mendengarkan musik di pub, bernyanyi di rumah
karaoke, menari di diskotik atau berjalan-jalan keliling kota lalu duduk-duduk di
tempat tertentu hingga menjelang pagi (Ruz, 2006).
Clubbing telah menjadi sebuah bentuk kesenangan masyarakat kota, dan
kini telah menjadi budaya industri utama di Inggris (Lovatt, 1996, dalam Malbon,
1999). Di Indonesiapun demikian. Hasil survey (Max, 2002) menunjukkan
sebesar 40% remaja kota-kota besar di Indonesia suka melakukan aktivitas dugem
(Badriah, 2005). Clubbing yang lebih diidentikkan dengan kehidupan di klub dan
tempat bersenang-senang anak muda lainnya, merupakan dimensi kehidupan
dunia yang tergolong baru bagi Indonesia. Meskipun baru, budaya barat ini mulai
menebarkan pesona dan janji kesenangan (Parahita, 2008), sehingga pada
akhirnya banyak yang terpesona akan janji kesenangan yang disuguhkan oleh
kehidupan malam tersebut.
Penyebaran budaya clubbing terlihat sangat cepat, dan kini telah melanda
kalangan menengah di Jakarta, juga kota-kota besar lain di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan berdirinya banyak klub baru. Jumlah klub musik di Jakarta
hampir mencapai 30 buah (Kuswardono, 2003). Di Medan, party dan clubbing,
sudah merupakan santapan sehari-hari, dan seks serta narkoba merupakan lem
pengerat bagi kehidupan itu (Putra, 2008). Berdasarkan hasil observasi peneliti,
banyak klub-klub malam atau diskotik yang kini bertaburan di Medan, mulai dari
yang kelas atas dan menengah, seperti Retro, The Song, Selecta, Jet Plane, M.
City, Soccer, Tobasa, dan lain-lain; sampai dengan klub-klub malam pinggir jalan
Banyak hal yang terjadi di dalam kehidupan Bito sebagai seorang clubber,
terutama konflik yang terjadi di dalam kehidupannya, dan konflik hanya dapat
dipahami oleh orang yang mengalaminya, sehingga peneliti tertarik untuk
menggali lebih dalam mengenai konflik yang dialami clubber tersebut. Penelit i
berharap akan dapat tergali lebih banyak lagi mengenai konflik kehidupan seorang
clubber khususnya Bito, dan bagaimana ia mengatasinya, sehingga dapat
menambah informasi dan menjadi sesuatu yang bermanfaat.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang
dirumuskan dalam beberapa pertanyaan di bawah ini :
1. Bagaimana konflik yang dihadapi seorang clubber.
2. Tipe-tipe konflik apa yang dihadapi seorang clubber.
3. Bagaimana seorang clubber menghadapi konflik di dalam kehidupannya.
23.34
Unknown
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: Konflik Kehidupan Seorang Clubber
Rating: