A. Latar Belakang Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan
Masalah penyeludupan merupakan masalah laten bagi Indonesia karena penduduk yang beraneka ragam kebudayaannya dengan kekayaan bumi, air dan udara yang melimpah ruah. Masalah penyeludupan akan ditentukan pula oleh faktor politik dan kebijakan ekonomi Pemerintahan yang mungkin menjadi stimulasi atau prevensi bagi penyeludupan. Dengan kebijakan baru di bidang impor dan ekspor yang ditandai dengan INPRES Nomor 4 Tahun 1985, beserta seluruh petunjuk pelaksanaannya, diharapkan akan menjadi faktor prevensi penyeludupan. APBN tahun 2006, untuk bea masuk menargetkan penerimaan sebesar Rp. 15 triliun dan dari cukai Rp. 36 triliun. Namun terjadi perombakan pada APBN-P tahun 2006 di Direktorat Jendral Bea-Cukai diharuskan memungut penerimaan bea masuk dan cukai sebesar Rp. 52.105.900 triliun, dengan rincian, bea masuk sebesar Rp. 13.583.300 triliun atau turun Rp. 2 triliun dan cukai sebesar Rp. 38.522.600 triliun atau naik sekitar Rp. 2 triliun. Hingga 31 Desember 2006, ternyata realisasi target-target tersebut mencapai 95.79 persen dengan rincian bea masuk hanya tercapai sebesar Rp. 12.141.702.85 triliun atau 89.39 persen dari target, sementara untuk cukai hanya tercapai sebesar Rp. 37.772.104.89 triliun atau 98.05 dari target.
1 Penyeludupan merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia, maka masalah penyeludupan harus mendapat perhatian penuh dari pemerintah untuk segera diatasi. Sebagai produk hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bentuk undang-undang kepabeanan yang bersifat proaktif dan antisipatif ini masih sangat sederhana di sisi lain harus menjangkau aspek yang lebih luas untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan. Kebijaksanaan Pemerintah di bidang Kepabeanan secara global diantaranya juga dengan disahkannya Undang-undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang kemudian direvisi menjadi UU No.17 Tahun 2006. Pemberlakuan Undang- undang No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan telah memberikan konsekuensi logis bagi Direktorat Jendral Bea dan Cukai berupa kewenangan yang semakin besar sebagai institusi pemerintah untuk dapat menjalankan perananya sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diemban, dimana kewenangan yang semakin besar ini pada dasarnya adalah keinginan dari para pelaku di bidang perdagangan internasional. Banyak kasus yang menyalahgunakan kebebasan tersebut. Beberapa diantaranya: “Petugas kami memperoleh informasi dari Kepala Bidang Penyeludupan di Wilayah X Kalimantan Timur. Kemudian mereka mengejar Kapal yang dimaksud tersebut. Awalnya, yang mereka kejar adalah kapal Putri IV yang mengangkut 50 meter kubik kayu kering, dan setelah berhasil menangkap kapal tersebut. Kemudian diperoleh lagi informasi ada kapal yang lebih besar muatan kayu log-nya dan akhirnya didapatkanlah Kapal Promex 26 dan 27 yang mengangkut 3.400 meter kubik kayu Meranti. 13 Kapal Promex ini ditangkap diperairan Sempadan, ketika akan menuju Ligitan. Menurut pengakuan awak kapal tersebut dari Ligitan mereka akan terus ke Tawao, Malaysia.” 2 Bukan hanya itu di bidang perdagangan internasional, perdagangan nasional juga mempunyai potensi untuk bisnis dengan cara penyeludupan. Misalnya di daerah Sumatera Utara, Tanjung Balai, Asahan. ”Banyak tangkahan swasta menjadi sarang penyeludupan di Tanjung Balai Asahan”. Contoh diatas menggambarkan bahwa penyeludupan sangat marak di Indonesia, sehingga memerlukan penanganan khusus untuk memberantasnya. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul: ”PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUDUPAN (STUDI KOMPERASI UU NO. 10 TAHUN 1995 DAN UU NO.17 TAHUN 2006)”.
B. Permasalahan
1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan perubahan UU No. 10 Tahun 1995 menjadi UU No.17 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ?
2. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap Tindap Pidana penyeludupan ?
| Download File Lengkapnya... |
Perkembangan perdagangan internasional, baik yang menyangkut kegiatan
di bidang impor maupun ekspor akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang sangat
pesat. Pesatnya kemajuan di bidang tersebut ternyata menuntut diadakannya suatu
sistem dan prosedur kepabeanan yang lebih efektif dan efisien serta mampu
meningkatkan kelancaran arus barang dan dokumen. Dengan kata lain, masalah
birokrasi di bidang kepabeanan yang berbelit-belit merupakan permasalahan yang
sudah sering terjadi. Adanya kondisi tersebut, tentunya tidak terlepas dari
pentingnya pemerintah untuk terus melakukan berbagai kebijakan di bidang
ekonomi terutama dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.
Banyaknya hubungan bilateral, regional, dan mult ilateral di bidang
perdagangan yang semakin diwarnai oleh arus liberalisai dan globalisasi
perdagangan dan investasi, tentunya liberalisasi permasalahan yang timbul di
bidang perdagangan akan semakin kompleks. Perubahan-perubahan pada pola
perdagangan internasional yang menggejala dewasa ini pada akhirnya akan
memberikan peluang yang lebih besar bagi negara berkembang untuk
memenangkan persingan pasar. Di samping itu, pola perdagangan juga akan
berubah pada konteks borderless world (dunia tanpa batas), atau paling tidak ada
nuansa liberalisasi perdagangan dan investasi dimana barriers (penghalang) atas
perdagangan menjadi hal yang diminimalisir. Bertahun-tahun pemerintah
berusaha mengatasi negara dan bangsa ini dengan sering mengubah dan
menambah peraturan-peraturan di bidang hukum pidana dan peraturan di bidang
ekonomi. begitu pula telah dibentuk team yang hampir bersamaan, yaitu Team
Pemberantasan Korupsi dan Team Pemberantasan Penyeludupan yang keduanya
dipimpin oleh Jaksa Agung. Tetapi semua itu masih belum berhasil.
Masalah penyeludupan merupakan masalah laten bagi Indonesia karena penduduk yang beraneka ragam kebudayaannya dengan kekayaan bumi, air dan udara yang melimpah ruah. Masalah penyeludupan akan ditentukan pula oleh faktor politik dan kebijakan ekonomi Pemerintahan yang mungkin menjadi stimulasi atau prevensi bagi penyeludupan. Dengan kebijakan baru di bidang impor dan ekspor yang ditandai dengan INPRES Nomor 4 Tahun 1985, beserta seluruh petunjuk pelaksanaannya, diharapkan akan menjadi faktor prevensi penyeludupan. APBN tahun 2006, untuk bea masuk menargetkan penerimaan sebesar Rp. 15 triliun dan dari cukai Rp. 36 triliun. Namun terjadi perombakan pada APBN-P tahun 2006 di Direktorat Jendral Bea-Cukai diharuskan memungut penerimaan bea masuk dan cukai sebesar Rp. 52.105.900 triliun, dengan rincian, bea masuk sebesar Rp. 13.583.300 triliun atau turun Rp. 2 triliun dan cukai sebesar Rp. 38.522.600 triliun atau naik sekitar Rp. 2 triliun. Hingga 31 Desember 2006, ternyata realisasi target-target tersebut mencapai 95.79 persen dengan rincian bea masuk hanya tercapai sebesar Rp. 12.141.702.85 triliun atau 89.39 persen dari target, sementara untuk cukai hanya tercapai sebesar Rp. 37.772.104.89 triliun atau 98.05 dari target.
1 Penyeludupan merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia, maka masalah penyeludupan harus mendapat perhatian penuh dari pemerintah untuk segera diatasi. Sebagai produk hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bentuk undang-undang kepabeanan yang bersifat proaktif dan antisipatif ini masih sangat sederhana di sisi lain harus menjangkau aspek yang lebih luas untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan. Kebijaksanaan Pemerintah di bidang Kepabeanan secara global diantaranya juga dengan disahkannya Undang-undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang kemudian direvisi menjadi UU No.17 Tahun 2006. Pemberlakuan Undang- undang No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan telah memberikan konsekuensi logis bagi Direktorat Jendral Bea dan Cukai berupa kewenangan yang semakin besar sebagai institusi pemerintah untuk dapat menjalankan perananya sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diemban, dimana kewenangan yang semakin besar ini pada dasarnya adalah keinginan dari para pelaku di bidang perdagangan internasional. Banyak kasus yang menyalahgunakan kebebasan tersebut. Beberapa diantaranya: “Petugas kami memperoleh informasi dari Kepala Bidang Penyeludupan di Wilayah X Kalimantan Timur. Kemudian mereka mengejar Kapal yang dimaksud tersebut. Awalnya, yang mereka kejar adalah kapal Putri IV yang mengangkut 50 meter kubik kayu kering, dan setelah berhasil menangkap kapal tersebut. Kemudian diperoleh lagi informasi ada kapal yang lebih besar muatan kayu log-nya dan akhirnya didapatkanlah Kapal Promex 26 dan 27 yang mengangkut 3.400 meter kubik kayu Meranti. 13 Kapal Promex ini ditangkap diperairan Sempadan, ketika akan menuju Ligitan. Menurut pengakuan awak kapal tersebut dari Ligitan mereka akan terus ke Tawao, Malaysia.” 2 Bukan hanya itu di bidang perdagangan internasional, perdagangan nasional juga mempunyai potensi untuk bisnis dengan cara penyeludupan. Misalnya di daerah Sumatera Utara, Tanjung Balai, Asahan. ”Banyak tangkahan swasta menjadi sarang penyeludupan di Tanjung Balai Asahan”. Contoh diatas menggambarkan bahwa penyeludupan sangat marak di Indonesia, sehingga memerlukan penanganan khusus untuk memberantasnya. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul: ”PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUDUPAN (STUDI KOMPERASI UU NO. 10 TAHUN 1995 DAN UU NO.17 TAHUN 2006)”.
B. Permasalahan
1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan perubahan UU No. 10 Tahun 1995 menjadi UU No.17 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ?
2. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap Tindap Pidana penyeludupan ?
| Download File Lengkapnya... |
15.35
Unknown
No comments
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan
Rating:
0 komentar:
Posting Komentar