A. Latar Belakang Putusan Hakim Pidana Di Bawah Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara
berkeseimbangan dan berkesinambungan di berbagai bidang kehidupan
termasuk bidang hukum. Proses penegakan hukum di Indonesia, sangat
tergantung pada kualitas sumber daya manusia dan sikap mental para penegak
hukum itu sendiri. Walaupun pada kenyataannya, sampai saat ini, kualitas
sumber daya manusia dan sikap mental para penegak hukum itu justru selalu
menjadi permasalahan baru yang dianggap menghilangkan kepastian hukum
dan rasa keadilan dalam proses penegakan hukum tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, terdapat beberapa lingkup lembaga peradilan yang masing-masing
memiliki kewenangan absolut (absolute competentie), yaitu :
1. Peradilan umum
2. Peradilan agama
3. Peradilan Militer dan
4. Peradilan tata usaha negara
Sistem peradilan terpadu (Integrated Criminal Justice System) mencakup
keterpaduan berjenjang antara peran dan fungsi kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan pemasyarakatan serta advokat. Berdasarkan Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan
bahwa sidang pemeriksaan pengadilan dilakukan terbuka untuk umum, bahkan
dalam perkara yang pemeriksaannya ditentukan tertutup untuk umum, tetap saja
putusannya harus dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum,
sehingga proses persidangan dapat diperhatikan dan dikritik oleh masyarakat,
tidak terkecuali dalam perkara-perkara pidana.
Tingginya tingkat kejahatan yang terjadi di Indonesia saat ini, membuat
peradilan pidana sebagai bagian dari peradilan umum menjadi sorotan berbagai
pihak, karena realitas yang terjadi masyarakat sering kecewa atas ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan hakim sebagai pemegang kewenangan dalam
memutuskan suatu perkara, dalam hal ini perkara pidana. Ada dua kepentingan
dalam suatu perkara pidana yang masing-masing tentu saja memiliki hak untuk
diperhatikan kepentingannya yakni pihak korban suatu kejahatan dan pelaku
kejahatan itu sendiri. Di satu sisi, pihak yang menjadi korban sebuah kejahatan
menginginkan agar pelaku (terdakwa) dijatuhi hukuman oleh hakim melalui suatu
proses peradilan pidana yang seberat-beratnya, sebagai bentuk balasan dan
penjeraan bagi pelaku kejahatan tersebut, mengingat pula penderitaan yang
dirasakan korban dan/atau keluarganya baik secara fisik maupun psikis, secara
material ataupun immaterial. Namun demikian, di lain pihak, pelaku kejahatan
pun memiliki hak untuk melakukan pembelaan, berdasarkan asas praduga tidak
bersalah sebelum ada putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap
dan pasti. Bentuk pembelaan yang diajukan seorang terdakwa pada peradilan
pidana merupakan salah satu pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu
perkara pidana. Putusan hakim dalam peradilan pidana sering menimbulkan
ketidakpuasan para pihak, baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum yang
mewakili kepentingan korban
1
.
Pada praktiknya, terdapat beberapa perkara dengan putusan hakim yang
memutuskan perkara pidana tersebut di bawah tuntutan jaksa penuntut umum.
Hal ini terjadi disebabkan berbagai faktor yang dijadikan petimbangan hukum
oleh hakim dalam putusan tersebut. Banyak kasus pidana yang putusan
hakimnya seperti itu, seperti putusan Pengadilan Negeri Purwokerto yakni
Putusan No. 32/Pid.B/1999/PN.Pwt mengenai kasus perkosaan. Selain itu,
putusan hakim pada kasus mantan anggota Komisi IV Dewan Perwakilan
Rakyat, Al Amien Nur Nasution, telah dijatuhi hukuman delapan tahun penjara
dan denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Al Amien terbukti melakukan dua
tindak pidana korupsi yang dijerat dengan Pasal 11 dan 12 (e) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lebih
rendah daripada tuntutan jaksa, yang meminta terdakwa dihukum 15 tahun.
Sementara itu, Terdakwa kasus illegal logging bernama Haryadi Aryadipa
dihukum dua tahun penjara oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum Rosidah dan Christian yang menuntut
lima tahun penjara. Selain itu, Tiga mantan Direktur Bank Indonesia yang
menjadi Terdakwa kasus penyaluran dana BLBI telah di lepaskan dari segala
tuntutan hukum oleh Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, yang mana
sebelumnya Jaksa menuntut tiga Terdakwa tersebut dengan enam tahun pidana
penjara.
Pada beberapa kasus lain, bahkan terdakwa diputus bebas dari hukuman
(vryjspraak) atau dilepaskan dari segala tuntutan, yang disebabkan dianggap
kesalahan terdakwa tidak terbukti maupun adanya alasan pembenar atau alasan
pemaaf, sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP. Dengan demikian, pihak
korban suatu kejahatan khususnya dan masyarakat pada umumnya sering
merasa tidak mendapat kepastian hukum dan keadilan sebagaimana mestinya,
yang mungkin disebabkan pula para penegak hukum di atas tidak menggunakan
kekuasaan yang diberikan hukum sebagaimana mestinya, dapat digambarkan
bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa
hukum adalah kelaliman.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa hakim pengadilan memiliki kewenangan
untuk menjatuhkan putusan terhadap seorang Terdakwa atas suatu tindak
pidana yang telah diproses di penagdilan tersebut. Putusan yang dijatuhkan
hakim merupakan hasil pertimbangan hukum hakim/majelis hakim pada perkara
tersebut. Pertimbangan yang dimaksud antara lain berasal dari proses
pembuktian, hal-hal yang memberatkan dan/ atau meringankan Terdakwa
sehingga putusan hakim/majelis hakim dapat sesuai dengan tuntutan jaksa
penuntut umum atau di atas tuntutan jaksa penuntut umum atau bahkan di
bawah tuntutan jaksa penuntut umum.
Kondisi peradilan di atas sering menimbulkan pro dan kontra dalam
masyarakat, sehingga dibutuhkan penjelasan lebih lanjut atas permasalahan
termaksud. Sampai saat ini, belum ada yang membahas masalah ini secara
khusus. Oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk mencoba membahas hal di atas,
yang dituangkan dalam bentuk Tesis berjudul Putusan Hakim Pidana Di
Bawah Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dihubungkan Dengan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman .
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dirumuskan
beberapa permasalahan, sebagai berikut :
1. Mengapa hakim pidana dapat menjatuhkan putusannya di bawah
tuntutan Jaksa Penuntut Umum ?
2. Tindakan hukum apa yang dapat ditempuh akibat putusan hakim yang
putusannya di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum?
20.27
Unknown
No comments
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: Putusan Hakim Pidana Di Bawah Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Rating:
0 komentar:
Posting Komentar