1.1. Latar Belakang Masalah Strategi Bertahan Buruh Kontrak Dalam Memenuhi Kebutuhan Pokok (Studi Kasus Kondisi Sosial Ekonomi Buruh Kontrak di CV. Belawan Indah)
Dewasa ini sistem pasar kerja di banyak negara mengalami perubahan sebagai
akibat perubahan orientasi ekonomi global. Pasar kerja kini didorong ke arah bentuk
yang lebih fleksibel (flexible labour market) bersamaan dengan menguatnya liberalisasi
perekonomian dunia. Pasar kerja yang fleksibel – berikut sistem produksi yang fleksibel
(flexible production), diyakini oleh para pendukungnya dapat lebih merangsang
pertumbuhan ekonomi serta memperluas pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan
masyarakat di tengah iklim kompetisi ekonomi global yang semakin ketat.
Dalam kenyataan, perkembangan fleksibilitas pasar kerja menghasilkan efek
yang beragam. Di banyak negara, khususnya negara berkembang, fleksibilitas justru
menciptakan masalah yang tidak kecil baik bagi kelompok pekerja maupun kelompok
masyarakat miskin (Gallie & Vogler, 1995). Selain berdampak positif, pasar kerja yang
fleksibel justru memiliki kerentanan dalam menciptakan degradasi kondisi kerja,
ketidakpastian pendapatan dan kesejahteran serta melemahnya posisi tawar dari pekerja.
Pasar kerja fleksibel menghasilkan pembagian kesempatan kerja dengan mengorbankan
kualitas kesempatan kerja itu sendiri. Tingkat kerawanan yang lebih tinggi terjadi dalam
pasar kerja yang memiliki suplai angkatan kerja tidak terampil yang berlebih (over
supply). Di dalam konteks ini, menyurutnya peran negara dari sejumlah peran
pelindungan sosial ekonominya justru membuat efek negatif dari fleksibilitas pasar kerja
semakin menjadi lebih besar. (http://yudhitc.wordpress.com/2007/06/19/sosial-kompas-
yudhit-ciphardian/).
Akibat tingginya uang kompensasi pemberhentian, perusahaan memilih merekrut
pekerja dengan sistem kerja kontrak yang tidak memerlukan pemberian kompensasi
pemberhentian. Dalam UU No 13 Tahun 2003 ketenagakerjaan mengenai aturan tentang
kompensasi pemberhentian pekerja, justru menimbulkan banyak praktek yang merugikan
pengusaha dan para pekerja baik langsung maupun tidak langsung. Masalah itu tidak
terlepas dari masalah kompensasi pemberhentian.
Sehingga penyebab maraknya pekerja berstatus kontrak adalah tingginya tingkat
kompensasi pemberhentian (termasuk pesangon), bukan aturan tenaga kerja kontrak.
Sebaliknya, fleksibilitas atas aturan tenaga kerja kontrak justru sangat dibutuhkan saat
ini. Sistem kontrak dan outsourcing yang sudah lama menjadi fenomena global beberapa
tahun terakhir di jiwai oleh fleksibilitas pasar kerja dari para pelaku usaha, untuk tetap
kompetitif di pasar global. Sistem ini muncul dalam bentuk hubungan kerja yang lebih
longgar antara pengusaha dan buruh berdasarkan sistem kontrak, dengan menghilangkan
hak-hak normatif buruh ( Kompas, Rabu 30 April 2008, 36).
Dalam UU No.13/2003, sistem kerja kontrak dan outsourcing itu dilegalkan
dengan cara diatur dalam pasal tersendiri. Dalam draf revisi UU No.13/2003, sistem kerja
kontrak dan outsourcing bahkan tidak lagi dibatasi pada pekerjaan non inti, tetapi semua
jenis pekerjaan dan masa kontraknya pun diperpanjang menjadi lima tahun.
Sejak UUK 13/2003 efektif berlaku, secara massif terjadi gerakan penggantian
status kerja dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak, melalui sistem outsourcing tenaga
kerja. Trend ini terutama terjadi pada industri besar padat karya yang memproduksi
garment, sepatu, elektronik dan makanan. Sistem outsourcing tenaga kerja yang diatur
dalam pasal 64-66 UUK, menjadi dasar hukum bagi perusahaan untuk mengganti buruh
tetap menjadi buruh kontrak. Menjadi persoalan bagi buruh, ketika penggantian status
pekerja dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang ada. Berbagai kasus perusahaan tutup
tanpa memenuhi persyaratan penutupan perusahaan, meninggalkan ribuan buruh tanpa
hak mereka ketika terjadi pemutusan hubungan kerja. Perusahaan yang tutup kemudian
beroperasi lagi di tempat lain dan merekrut buruh lama maupun baru sebagai tenaga kerja
baru dengan pengalaman nol tahun dan dengan status kontrak.
Sebagai tenaga kontrak, yang direkrut melalui perusahaan pengerah tenaga kerja
(outsourced) yang banyak muncul di pusat-pusat industri sebagai bisnis yang sangat
menguntungkan buruh hanya mendapatkan upah pokok sebesar upah minimum setempat
tanpa tunjangan lain. Padahal, mereka melakukan pekerjaan yang persis sama dengan
buruh tetap. Kontrak kerja mereka umumnya pendek-pendek dari 1 hingga 6 bulan dan
dapat diputus setiap saat. Kontrak kerja yang pendek menciptakan ketidakpastian kerja,
apalagi peningkatan karir. Buruh outsourcing juga kehilangan kesempatan berserikat,
karena baik secara terbuka maupun terselubung, perusahaan pengerah maupun pengguna
tenaga buruh melarang mereka untuk berserikat dengan resiko kehilangan pekerjaan.
Adanya sistem kontrak dan outsourcing ini membuat posisi tawar pekerja/buruh
semakin lemah karena tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, jaminan sosial, jaminan
kesehatan, pesangon jika di PHK, dan tunjangan-tunjangan kesejahteraan lain. Kian
sempitnya lapangan kerja membuat buruh tidak dihadapkan pada banyak pilihan, kecuali
menerima kondisi yang ada.
Pada saat sekarang ini semakin banyak perusahaan yang menggunakan tenaga
kerja kontrak. Perusahaan-perusahaan tersebut ada yang merekrutnya sendiri, namun
yang lebih banyak mereka bekerja sama dengan perusahaan penyedia tenaga kerja,
perusahaan outsourcing dan perusahaan pemborong pekerjaan.
Di sektor formal terdapat 60% pekerja yang dipekerjakan berdasarkan kontrak
kerja yang tidak memberikan jaminan untuk terus bekerja sehingga tidak akan
memperoleh kompensasi berupa uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja pada
saat terjadinya PHK. Secara umum, pekerja kontrak hanya dibayar untuk setiap hari
masuk kerja dan tidak berhak atas sejumlah tunjangan yang dapat diharapkan oleh
pekerja tetap yang dibayar bulanan, termasuk perlindungan dari Jamsostek, untuk pensiun
dan asuransi kecelakaan. Dewasa ini semakin banyak perusahaan mempekerjakan
karyawan secara harian, berdasarkan kontrak untuk tertentu atau mensubkontrakkan
pekerjaan kebadan pemasok tenaga kerja (Nazaruddin Siregar dalam Majalah Balitfo
Nakertrans, 2006).
Dalam perusahaan umumnya menggunakan empat sistem pembayaran yang
berbeda yaitu status sebagai pekerja harian lepas, status dengan pekerja dengan upah per
potong/satuan hasil atau status sebagai pekerja kontrak, status sebagai pekerja tetap
harian, dan status sebagai pekerja tetap. Dari kategori tersebut hanya status sebagai
pekerja tetap yang memberikan jaminan kerja yang secara hukum bersifat mengikat. Dari
temuan diketahui bahwa dua pertiga dari buruh tersebut dipekerjakan berdasarkan
kontrak kerja yang tidak memberikan kepastian untuk dapat bekerja, yang menyebabkan
mereka dapat dengan mudah diberhentikan, dan banyak pekerja yang tidak menerima
upah kalau sakit atau tidak masuk karena alasan apapun (Nazaruddin Siregar dalam
Majalah Balitfo Nakertrans, 2006).
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja. Setiap perusahaan di dalam menetapkan
upah setiap karyawan dengan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah, baik
pemerintah provinsi yang dikenal dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan
pemerintahan kabupaten/kotamadya yang dikenal dengan Upah Minimum Kabupaten
(UMK). Upah minimum ini mulai diterapkan pada tahun 1996 yang ditetapkan oleh
Menteri Tenaga Kerja. Setelah Otonomi Daerah berlaku pada tahun 2000, penetapan
upah minimum diserahkan pada kebijakan Gubernur, Bupati/Walikota. Upah minimum
wajib diberikan oleh pengusaha kepada setiap pekerja pada saat pekerja tersebut bekerja
padanya. Setiap tahun pemerintah menetapkan upah minimum regional (UMR/UMP).
Dan pada tahun 2008 Upah Minimum Propinsi (UMP) sebesar Rp 822.205,- per bulan
dan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.(http;//www.pajak.net/).
Upah buruh secara riil praktis stagnan sejak tahun 2004. bukan hanya upah riil,
melainkan juga upah secara nominal untuk beberapa sektor bahkan juga turun. Data
indikator Ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan upah riil terjadi
hampir disemua sektor utama yang banyak mempekerjakan pekerja berketrampilan
rendah. Secara rata-rata, upah upah buruh secara riil mengalami penurunan hingga 10,6
persen pada kurun Agustus 2006-Agustus 2007 ( Kompas, Rabu 30 April 2008, 36).
Penetapan upah minimum tersebut bergantung pada situasi dan kondisi
perekonomian nasional dan juga dikaitkan dengan keadaan perekonomian di setiap
daerah/wilayah propinsi atau kabupaten/kota. Aspek-aspek yang menjadi acuan dalam
penetapan upah minimum. Agar buruh kontrak dapat mempertahankan hidupnya dengan kondisi upah yang
secukupnya, maka buruh harus mampu melakukan adaptasi sosial. Adaptasi sosial
ataupun strategi bertahan menurut Soerjono Soekanto adalah memiliki batasan sebagai
berikut, proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, proses penyesuaian
terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan, proses perubahan untuk
penyesuaian dengan situasi yang telah berubah, memanfaatkan sumber-sumber yang
terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem, penyesuaian budaya dan aspek
lainnya sebagai hasil seleksi alamiah (Soekanto, Soerjono, 2000;10-11.).
Dalam tata kehidupan dan penghidupan masyarakat, setiap keluarga tidak akan
terlepas dari permasalahan (goncangan dan tekanan). Permasalahan yang dimaksud di
sini dapat berupa permasalahan ekonomi maupun sosial. Keluarga fakir miskin
mempunyai potensi untuk survive dalam berbagai kondisi. Dinamika dan mobilitas
mereka dalam pekerjaan relatif tinggi. Dalam rangka menanggapi goncangan dan tekanan
(shock and stress), pada dasarnya mereka mempunyai mereka mempunyai strategi yang
cukup handal. Menurut Edi Suharto (2003) mereka adalah manajer dengan seperangkat
aset yang ada di seputar diri dan lingkungannya
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana
kemiskinan yang dialami oleh keluarga buruh kontrak yang bekerja di CV. Belawan
Indah dan strategi bertahan yang dilakukan buruh kontrak dalam memenuhi kebutuhan
dasar keluarganya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
deskriptif terhadap masalah tersebut. Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kondisi kemiskinan keluarga buruh kontrak yang bekerja di CV.
Belawan Indah ?
2. Bagaimana strategi bertahan yang dilakukan oleh buruh kontrak dalam memenuhi
kebutuhan dasar/pokok keluarga ?.
17.49
Unknown
No comments
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: Strategi Bertahan Buruh Kontrak Dalam Memenuhi Kebutuhan Pokok (Studi Kasus Kondisi Sosial Ekonomi Buruh Kontrak di CV. Belawan Indah)
Rating:
0 komentar:
Posting Komentar