A. Latar Belakang Masalah DISPENSASI KAWIN KARENA HUBUNGAN LUAR NIKAH (Studi Penetapan Hakim di Pengadilan Agama Salatiga)
Ada dua pilar dalam membangun masyarakat. Pertama, melalui sistem
keyakinan. Sistem keyakinan ini adalah agama beserta sistem pendukungnya.
Dalam konteks Islam, aqidah beserta syariatnya. Secara umum, ideologi
beserta perangkat-perangkat struktural dan infrastruktural.
Kedua melalui sistem keluarga. Sebuah unit kemanusiaan bukanlah
seorang laki-laki atau seorang perempuan, melainkan seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang bersatu membentuk sebuah keluarga.
bagian terkecil dari air bukanlah oksigen atau hidrogen, melainkan persatuan
keduanya.
Layaknya air,
Dalam Islam pembentukan sebuah keluarga dengan menyatukan
seorang laki-laki dan seorang perempuan diawali dengan suatu ikatan suci,
yakni kontrak perkawinan atau ikatan perkawinan. Ikatan ini mensyaratkan
komitmen dari masing-masing pasangan serta perwujudan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bersama. Seperti yang tercantum dalam pasal 1 UU
Perkawinan No. 1 Th. 1974, yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Allah memerintahkan kaum muslimin agar menikah, seperti yang
tercantum dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 32:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”
Ini berarti bahwa pernikahan adalah suatu lembaga yang diperlukan
dan suatu keharusan. Al-Qur’an mengutuk pembujangan sebagai hasil
perbuatan setan, dan begitu juga Nabi saw. Menikah berarti memenuhi
sunnah Nabi yang dianggap penting.
Dalam Islam, perkawinan memiliki dua fungsi, dan hanya
perkawinanlah sarana yang halal dalam mecapai tujuan-tujuan itu.
pertama adalah yang memenuhi hasrat pasangan, baik yang bersifat fisikal
maupun spiritual. Allah SWT berfirman dalam surat ar-Ruum ayat 21:
Untuk menjebatani antara kebutuhan kodrati manusia dengan
pencapaian esensi dari suatu perkawinan, UU Perkawinan No. 1 Th. 1974
telah menetapkan dasar dan syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan.
Salah satu di antaranya adalah ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) yang
berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.”
Akan tetapi walaupun batas umur di Indonesia relatif rendah, dalam
pelaksanaannya sering tidak dipatuhi sepenuhnya. Sebenarnya untuk
mendorong agar orang melangsungkan pernikahan di atas batas umur
terendah, UU Perkawinan No. 1 Th. 1974 pasal 6 ayat (2) telah mengaturnya
dengan bunyi: “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.”
Dalam UU Perkawinan-pun ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas
mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman. Salah satu asas atau prinsip yang
tercantum adalah bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya
untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan
antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.
Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang
wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Adapun dalam Islam memang tidak pernah secara sepesifik
membahas tentang usia perkawinan. Begitu seseorang memasuki masa baligh,
maka sebenarnya ia sudah siap untuk menikah. Usia baligh ini berhubungan
dengan penunaian tugas-tugas biologis seorang suami maupun seorang isteri.
Demikian juga dalam hukum adat tidak ada ketentuan batas umur
untuk melakukan pernikahan. Biasanya kedewasaan seseorang dalam hukum
adat diukur dengan tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak wanita sudah
haid (datang bulan), buah dada sudah menonjol berarti ia sudah dewasa. Bagi
laki-laki ukurannya dilihat dari perubahan suara, postur tubuh dan sudah
mengeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia, muncul suatu
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, yaitu hamil sebelum nikah.
Timbullah anak zina lalu orang tua menutup malu dengan buru-buru
menikahkan, sehingga kadang-kadang ketika pengantin duduk bersanding,
perut anak dara kelihatan sudah besar. Namun bagaimana jika pernikahan tersebut dilakukan oleh calon mempelai yang belum cukup umur menurut UU
Perkawinan?
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis terdorong untuk meneliti
izin kawin bagi calon mempelai yang belum cukup umur di Pengadilan
Agama Salatiga pada tahun 2005. Penelitian ini, penulis beri judul
DISPENSASI KAWIN KARENA HUBUNGAN LUAR NIKAH (Studi
Penetapan Hakim di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2005).
B. Penegasan Judul
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda
dengan maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul, maka
kiranya perlu penjelasan beberapa kata pokok yang menjadi variabel
penelitian.
Adapun yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:
1. Dispensasi Kawin
Yang dimaksud dengan dispensasi adalah kelonggaran, pengecualian,
memberikan keringanan, memberikan kelonggaran dalam hal khusus dari
ketentuan undang-undang.
Sedangkan kata kawin menurut Em Zul Fajri dan
Ratu aprilia Senja adalah menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau
beristri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh.
Adapun yang penulis maksudkan dengan dispensasi kawin adalah
kelonggaran yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang
belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum
mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan wanita belum mencapai 16 (enam
belas) tahun.
2. Hubungan Luar Nikah
Yang dimaksud dengan hubungan adalah pertalian, ada ikatan.
adalah kedudukan atau tempat yang bukan bagian dari sesuatu itu sendiri,
bukan dari lingkungan keluarga, bukan dari lingkungan negeri atau daerah,
dsb, bagian yang tidak di dalam.
Sedangkan nikah adalah perkawinan yang
dilakukan dengan diawali mengikat perjanjian antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk menjalin hubungan rumah tangga, perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk menjalin hubungan suami isteri secara sah
yang disaksikan oleh beberapa orang dan dibimbing oleh wali dari pihak
perempuan.
Adapun yang penulis maksudkan dengan hubungan luar nikah adalah
hubungan seksual yang dilakukan oleh pria dan wanita yang tidak terikat
dalam perkawinan yang sah.
C. Pokok Masalah
Bertolak dari alasan penelitian judul dan pembatasan masalah
tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa pokok masalah dari penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep batasan usia perkawinan menurut Fiqh dan UU
Perkawinan No. 1 Th. 1974?
2. Bagaimana mekanisme pengajuan dan proses penyelesaian perkara
permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Salatiga?
3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penetapan dispensasi kawin
karena hubungan luar nikah di Pengadilan Agama Salatiga?
4. Bagaimana penetapan hakim dalam dispensasi kawin karena hubungan
luar nikah di Pengadilan Agama Salatiga?
11.48
Unknown
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: DISPENSASI KAWIN KARENA HUBUNGAN LUAR NIKAH (Studi Penetapan Hakim di Pengadilan Agama Salatiga)
Rating: