Latar Belakang Masalah HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS LABORATORIUM TB PARU PUSKESMAS DENGAN ERROR RATE HASIL PEMERIKSAAN DAHAK TERSANGKA TB PARU
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi keberhasilan
pembangunan bangsa (Depkes RI, 2004: 1). Pembangunan kesehatan sebagai salah
satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan
dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal. Sasaran pembangunan kesehatan dapat berhasil
apabila angka kesakitan dan kematian dapat menurun. Sampai saat ini angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit menular masih cukup tinggi, salah satunya
adalah penyakit tuberkulosis (http://www.suaramerdeka.com).
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat menahun,
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Oswari, E.1995: 256). Kuman
ini dapat menyerang semua bagian tubuh manusia dan yang paling sering terkena
adalah organ paru (90%) (
http://www.indosiar.com). Penyakit tuberkulosis
merupakan salah satu masalah kesehatan bagi bangsa Indonesia dan dunia. WHO
menyatakan bahwa sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini telah
terinfeksi kuman tuberkulosis (Deadly Duo, 2004: ii). Dalam pandangan dunia
internasional Indonesia merupakan penyumbang kasus TB Paru terbesar di dunia
setelah India dan Cina.
Di Indonesia TB Paru kembali muncul sebagai penyebab kematian utama
setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan (Wahyu Aniwidyaningsih dan
Tjandra Yoga Aditama, 2003: 34). Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor
3 setelah penyakit kardiovaskuler dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.
Hingga saat ini penyakit ini belum dapat disembuhkan secara sempurna bahkan
sebaliknya jumlah penderita baru dari hari ke hari semakin meningkat (Luhur, 2004:
38).
Pada tahun 1999 WHO memperkirakan dari setiap 100.000 penduduk akan
ditemukan 130 penderita baru TB Paru dengan Bakteri Tahan Asam Positif (BTA +)
(
http://www.pikiran-rakyat.com). Diperkirakan setiap tahun ditemukan 450.000
kasus baru TB, dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar Puskesmas, 1/3
ditemukan di pelayanan Rumah Sakit/ klinik pemerintah dan swasta, praktek swasta
dan sisanya belum terjangkau Unit Pelayanan Kesehatan. Sedangkan kematian
karena TB diperkirakan 175.000 per tahun. Penyakit TB ini menyerang sebagian
besar kelompok usia kerja produktif (http://ppmplp.depkes.go.id).
Di Jawa Tengah diperkirakan terdapat 100-150.000 penderita pada tahun
1990–1997. Walaupun incidence rate cenderung menurun, tetapi penderita baru
menunjukkan peningkatan hingga 4%, dimana 110 dari tiap 100.000 penduduk atau
33.000 orang setiap tahun (
http://www.suaramerdeka.com).
Mulai tahun 1995 Program Pemberantasan Penyakit TB (P2TB) Paru
melaksanakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang
dilaksanakan secara bertahap (Depkes RI, 2002: 3). Dalam rangka mensukseskan
pelaksanaan program P2TB Paru, prioritas ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan dan penggunaan pengobatan yang rasional. Dalam pemberantasan penyakit TB Paru, pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan menggunakan
Puskesmas sebagai ujung tombak untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB
Paru di masyarakat yaitu dengan cara menemukan dan mengobati penderita sampai
sembuh, maka pengobatan diberikan secara gratis di Unit Pelayanan Kesehatan
(UPK) Pemerintah khususnya Puskesmas (Ahmad Hudoyo, 1999: 18).
Salah satu pelayanan yang diberikan di Puskesmas kepada penderita TB
Paru adalah pemeriksaan laboratorium. Dalam program penanggulangan TB Paru,
pemeriksaan sediaan mikroskopis BTA dari spesimen dahak merupakan komponen
kunci untuk menegakkan diagnosis serta evaluasi dan tindak lanjut pengobatan
(Gerdunas TB, 2001: 1).
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan pemeriksaan dahak yang
paling efisien, mudah dan murah. Pemeriksaan mikroskopis bersifat spesifik dan
cukup sensitif karena pemeriksaan 3 spesimen (Sewaktu Pagi Sewaktu / SPS) dahak
secara mikroskopis langsung nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara
kultur atau biakan (Depkes RI, 2002: 27).
Salah satu permasalahan yang masih dijumpai dalam pelaksanaan program
P2TB Paru adalah mutu pemeriksaan dahak belum sepenuhnya terjamin secara
merata. Ketidakmampuan untuk menafsirkan pemeriksaan laboratorium secara
optimal dapat mengganggu perawatan penderita dan penggunaan laboratorium secara
tidak tepat dapat mengganggu diagnosis (Joko, 2000: vii). Untuk menjamin
ketepatan dan ketelitian hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung harus
dilakukan kegiatan pemantapan mutu laboratorium. Kegiatan pemantapan mutu laboratorium untuk memantau kualitas tata
laksana pemeriksaan laboratorium Puskesmas dilaksanakan melalui pemeriksaan
cross check atau uji silang yaitu pengiriman satu sediaan dari seluruh slide BTA +
masing-masing tersangka penderita ditambah 10% BTA – hasil pemeriksaan
Puskesmas yang diambil secara acak ke Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) atau
BP4 yang ditunjuk (Depkes RI, 2002: 59). Angka error rate (angka kesalahan
laboratorium) yang di dapat dari hasil pemeriksaan cross check merupakan salah satu
indikator program penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2002: 59).
Menurut WHO dimana jika error rate ≤5% maka mutu pemeriksaan dahak di
Kabupaten atau Kota tersebut dinilai bagus. Dengan dilaksanakannya cross check
spesimen maka dapat diketahui kualitas hasil pemeriksaan sediaan dahak pada
Puskesmas yang bersangkutan. Akurasi pemeriksaan spesimen ini sangat penting
karena menyangkut ketepatan diagnosa pada tersangka penderita. Apabila angka
kesalahan laboratorium (error rate) dari hasil cross check diketahui >5% maka dapat
berdampak pada hasil pembacaan spesimen yang pada akhirnya terjadi kesalahan
pengobatan pada penderita sehingga dapat mengganggu program penanggulangan
penyakit TB Paru. Selain itu apabila angka kesalahan tersebut melampaui batas maka
akan diadakan tindak lanjut kepada petugas laboratorium Puskesmas yang
bersangkutan, seperti mendapatkan bimbingan atau petugasnya perlu magang di
BLK (Depkes RI, 2002: 61).
Kabupaten Kudus memiliki 19 Puskesmas di wilayah kerjanya. Menurut
hasil kegiatan program P2TB Paru dari tahun 1999 sampai dengan 2005 error rate
(angka kesalahan laboratorium) masih diatas 5% yaitu berkisar 10-15%, sedangkan
hasil program P2TB Paru pada triwulan 1 tahun 2006 masih menunjukkan kesalahan
pembacaan yang masih tinggi yaitu 13,6%, hal ini menyebabkan angka error rate di
Kabupaten Kudus menduduki peringkat 1 di Jawa Tengah. Hasil cross check ini
harus ditindaklanjuti. Bila hasil cross check menunjukkan error rate lebih dari 5%,
unit-unit terkait harus meneliti lebih lanjut apa kemungkinan penyebabnya (Depkes
RI, 2002: 61).
Angka pencapaian error rate dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satu faktor yang mempengaruhi adalah petugas laboratorium TB Paru, oleh karena
petugas laboratorium tersebut memiliki karakteristik individual yang berbeda-beda.
Menurut penelitian Yamoto (2001), karakteristik tersebut antara lain umur, jenis
kelamin, latar belakang pendidikan, pelatihan, kesehatan mata, status kepegawaian
dan lama bekerja. Sedangkan menurut penelitian Sri Retno Rindjaswati (2001),
karakteristik internal antara lain umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama
bekerja dan karakteristik eksternal antara lain kerja rangkap, pendanaan,
penghargaan, pelatihan, mikroskop binokuler, reagen Ziehl Neelsen dan kaca
sediaan.
Dengan memperhatikan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “ Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006 ” .
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas di identifikasi
permasalahan yaitu angka error rate (angka kesalahan laboratorium) di Kabupaten
Kudus dari tahun 1999 sampai dengan 2005 masih diatas 5% yaitu berkisar 10-15%,
bahkan pada triwulan 1 tahun 2006 menduduki peringkat 1 di Jawa Tengah yaitu
13,6%.
Dari identifikasi permasalahan tersebut dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut: “Adakah hubungan karakteristik (latar belakang pendidikan,
pelatihan, pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung,
status kepegawaian, masa kerja dan beban kerja) petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus tahun 2006?”
18.07
Unknown
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS LABORATORIUM TB PARU PUSKESMAS DENGAN ERROR RATE HASIL PEMERIKSAAN DAHAK TERSANGKA TB PARU
Rating: