Latar Belakang Hubungan Antara Modal Psikologi, Kepemimpinan Pelayanan, Dan Kinerja Karyawan
Hakekat Manusia - Mahluk Rasional dan Spiritual
Manusia merupakan makhluk yang kompleks, yang secara fisik memiliki
kemampuan untuk bekerja dan berperilaku, namun dalam kenyataannya, kualitas
karya dan perilaku fisiknya dipengaruhi oleh kualitas kalbunya. Upaya untuk
memahami fenomena tentang manusia, banyak dijelaskan oleh para filsuf sejak
awal zaman peradaban manusia, baik filsuf dari Barat maupun Timur.
Aristoteles, yang dikenal sebagai bapak filsuf Barat, mengatakan bahwa manusia
berbeda dengan binatang, karena manusia merupakan mahluk rasional (memiliki
akal-budi), yang menuntun manusia berdasarkan rangsangan dari lingkungan
hidupnya. Sedangkan Konfusius, yang dikenal sebagai bapak filsuf Timur,
mengatakan bahwa manusia berbeda dengan binatang karena manusia memiliki
“hati baik/hati nurani” (memiliki perasaan) yang menuntun manusia dari dalam
dirinya sendiri.
Kedua pemahaman tentang manusia tersebut di atas dipengaruhi oleh generik
personaliti filsuf dari kedua bangsa (Barat vs Timur) di atas. Perbedaan yang
paling hakiki dari kedua filsafah tersebut adalah:
a) Orang Barat dikenal sebagai orang yang lebih mengandalkan olah-pikiran,
atau lebih mengandalkan pada kekuatan rasional. Dengan akal-budinya,
manusia akan mampu memahami alam dan karenanya mampu menyesuaikan
diri dengan perubahan alam atau zaman.
b) Orang Timur dikenal sebagai orang yang lebih mengandalkan olah-kalbu,
yang percaya bahwa di dalam kalbu setiap manusia terdapat suara kalbu yang
ghoib, yang bersifat universal dan langgeng, yang memiliki kekuatan untuk
menuntun dan mengendalikan setiap perilaku manusia. Suara kalbu sejatinya
menjadi sumber keyakinan, menjadi petunjuk manusia untuk berperilaku dan
beraktivitas, khususnya ketika manusia dihadapkan pada suatu permasalahan
yang menuntut kearifan dan moralitas. Dapat dikatakan di sini bahwa orang
Timur lebih mengandalkan pada kekuatan spiritual daripada akalnya. Dengan
kekuatan spiritualnya, manusia akan mampu menjaga atau mengendalikan
alam dan zaman agar tetap dalam keadaan yang harmonis dan seimbang,
sehingga mampu lestari.
Harefa (2000) kemudian menyatakan bahwa berdasarkan filsafat manusia
tersebut di atas, kemudian berkembang aliran-aliran psikologi, diantaranya adalah
aliran Psikoanalis (Freud, Jung, dkk.), Psikologi Kognitif (Lewin, Heider, Piaget,
dkk.), Psikologi Perilaku (Hull, Skiner, Benalusa, dkk.), Psiko-Humanistik
(Rogers, Perls, Maslow, From, dkk.), yang masing-masing membahas tentang
manusia dari dimensi yang berbeda-beda. Sejak saat itu pula muncul istilah-
istilah yang menggambarkan tentang manusia, seperti homo valens (manusia
sebagai mahluk yang berkeinginan), homo sapien (manusia sebagai mahluk yang
berpikir), homo mekanikus (manusia sebagai mahluk yang mekanikal), homo
luden (mahluk yang bermain), atau homo significance (manusia sebagai mahluk
pemberi makna). Namun kebanyakan para ahli sepakat bahwasanya manusia itu
pada dasarnya adalah mahluk yang memiliki ciri dan kemampuan semuanya
karena pada hakikatnya manusia adalah mahluk yang memiliki akal-pikiran yang
bersifat rasional dan sekaligus memiliki hati nurani (kalbu) dan instink yang
bersifat spiritual dan emosional.
Kalbu atau nurani manusia pada dasarnya merupakan sumber kekuatan spiritual
atau sumber keyakinan yang akan melandasi sikap dan perilaku seorang manusia.
“Manusia itu roh yang menjasmani”, demikian kata Jakob Sumardjo (2000).
Oleh sebab itu, seorang manusia akan mampu belajar dan berubah menjadi
manusia yang memiliki kemampuan kerja lebih baik, jika kalbunya dilibatkan,
untuk kemudian suara kalbunya dipatuhi untuk dijadikan pedoman dalam
berperilaku dan bekerja. Berdasarkan konteks inilah maka muncul konsep modal
psikologi (Psychological Capital = Psy-Cap), yang menggambarkan bahwa
kualitas kalbu (psychology) seseorang menjadi modal utama untuk membangun
perilaku positif dalam bekerja.
Konsep Psy-Cap telah dieksplorasi oleh Luthan dan kawan-kawannya (Luthans et
al., 2004; Luthans and Youssef, 2004). Psy-Cap didefinisikan oleh Luthan dan
kawan-kawan sebagai hal positif perorangan yang ditandai oleh: (1) percaya diri
(self-efficacy/confidence) untukmenyelesaikan pekerjaan, memiliki
pengharapan positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini dan di masa yang
akan datang; ( 3) tekun dalam berharap (hope) untuk berhasil; dan ( 4) tabah
dalam menghadapi berbagai permasalahan (resiliency) hingga mencapai sukses
(Luthans, Youssef & Avolio, 2007).
Hakekat Kerja dan Kinerja Manusia
Apa misi hidup manusia? Mengapa Tuhan menciptakan manusia di dunia ini?
Apa yang dikehendaki Tuhan tentang manusia dalam kehidupannya di dunia ini?
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan pertanyaan fundamental, dan hanya
orang yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang akan
mampu memahami apa makna hidup bagi dirinya. Dengan memahami fenomena
manusia sebagaimana diuraikan pada sub bab di atas, dapat disimpulkan bahwa
untuk dapat bertahan hidup di dunia ini, Tuhan membekali manusia dengan akal,
sebagai sumber kecerdasan intelektual sehingga mampu berpikir rasional dan
dibekali instink, sebagai sumber kecerdasan emosional sehingga memiliki
kepekaan atas hal-hal yang irasional, serta pada akhirnya dibelaki kalbu, sebagai
sumber kecerdasan spiritual sehingga mampu berpikir holistik, untuk
mensinergikan antara kecerdasan intelektual dan emosional, yang sering berbeda
pemahaman. Dengan berbekal ketiga kecerdasan di atas, manusia mampu
mempertahankan hidupnya dan bekerja untuk menciptakan kesejahteraan hidup,
baik bagi dirinya maupun kelompok sosialnya.
Bekerja bagi seorang manusia merupakan kewajiban, selain sebagai manifestasi
dari misi hidupnya, juga merupakan kebutuhan untuk mendapatkan hak
hidupnya. Karya manusia berupa hasil kerjanya, dapat digunakan untuk
menggambarkan prestasi atau kinerja seorang manusia dihadapan Tuhan
penciptanya, maupun dihadapan sesama manusia atau dalam sebuah organisasi/
perusahaan. Makin baik kinerja seorang manusia, makin tinggi derajat
kemanusiaannya, atau makin besar kontribusi dirinya terhadap organisasi/
perusahaannya, dan tentunya akan makin dihargai oleh manajemen dari
organisasi/perusahaan dimana dia bekerja.
Banyak penelitian untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
para pekerja. Spencer (Spencer and Spencer, 1993) menjelaskan bahwa kinerja
seseorang dipengaruhi oleh kompetensi kerjanya, yang dapat diklasifikasikan atas
kompetensi teknikal (hard competence atau hard skills) dan kompetensi perilaku
(soft competence atau soft skills). Lebih jauh, Spencer menjelaskan bahwa
kompetensi seseorang terbentuk dari lima unsur, yaitu motif (motives), watak
(traits), konsep diri (self concept), pengetahuan (knowledge), serta keterampilan
(hard skills). Kelima unsur kompetensi individu tersebut di atas, membentuk
kompetensi kerja seseorang, yang akan menentukan kinerjanya saat bekerja.
Psy-Cap, sebagaimana diuraikan di atas, memiliki karakteristik seperti motif dan
konsep diri, dan bahkan dapat digunakan untuk menjelaskan gambaran dari watak
seseorang. Pemahaman akan perilaku hubungan pengaruh dari Psy-Cap terhadap
kinerja seseorang, dapat memberikan pengetahuan lain atau pengayaan wawasan,
baik bagi para peneliti maupun praktisi manajemen.
Hakekat Pemimpin dan Kepemimpinan
Pemimpin adalah orang yang memiliki pengikut. Manusia dengan kecerdasannya,
dibekali kemampuan untuk menjadi pemimpin, baik menjadi pemimpin dirinya,
maupun menjadi pemimpin orang lain. Kualitas pemimpin, ditentukan oleh
kualitas kepemimpinannya, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan para pengikutnya.
Banyak penelitian untuk memahami karakteristik kepemimpinan yang efektif.
Perilaku kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan organisasi, khususnya
dalam mengarahkan anggota organisasi agar memberikan kinerja yang terbaik
bagi organisasinya.
Kepemimpinan pelayanan (servant leadership), merupakan fenomena
kepemimpinan yang sedang banyak dipelajari.. Karakteristik utama yang
membedakan kepemimpinan pelayan dengan konsep kepemimpinan lainnya
ialah: “keinginan untuk melayani hadir sebelum adanya keinginan untuk
memimpin, selanjutnya mereka yang memiliki kualitas kepemimpinan akan
menjadi pemimpin, sebab cara itulah yang paling efektif untuk melayani (Spears,
1995 dalam Lantu, 2007)”. Para peneliti menyimpulkan bahwa servant
leadership merupakan konsep/teori yang valid dalam kepemimpinan organisasi
dalam hubungannya dengan berbagai konsep seperti kepuasan kerja, kesehatan
organisasi dll, baik organisasi bisnis, pendidikan, maupun yayasan.
Hubungan pengaruh antara Psy-Cap, kinerja dan kepemimpinan pelayanan pada
perusahaan-perusahaan di Indonesia saat ini masih belum diketahui. Hubungan
tersebut perlu diketahui sehingga dapat memberikan manfaat bagi dunia
akademis dan dunia praktis. Walaupun secara generik manusia di dunia ini pada
dasarnya memiliki potensi yang sama, namun dalam kenyataannya dapat
diperhatikan dan diduga bahwa kinerja (produktivitas kerja) para karyawan di
Indonesia berbeda dengan para karyawan di negara lain. Perbedaan produktivitas
kerja ini menunjukkan bahwa ada faktor lokal yang bersifat kontekstual, yang
membedakan antara kondisi kerja di Indonesia dengan negara-negara lain,
sehingga kinerjanya berbeda. Psy-Cap dan kepemimpinan pelayanan, akan diuji
untuk mengetahui hubungan pengaruhnya terhadap kinerja para karyawan, baik
di perusahan jasa maupun manufaktur Indonesia.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas, berikut diuraikan pertanyaan pokok yang
akan dicari jawabannya melalui penelitian ini, yaitu:
1.Apakah Psy-Cap karyawan memiliki hubungan pengaruh terhadap
kinerjanya?
16.03
Unknown
Comment With Facebook!
4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: Hubungan Antara Modal Psikologi, Kepemimpinan Pelayanan, Dan Kinerja Karyawan
Rating: