Follow me on Facebook! Follow me on Twitter!
 7projectsdistro.com - Toko Kaos Distro Online Terlengkap Termurah dan Terpercaya

KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA SEMARANG DALAM PEMBINAAN GELANDANGAN DI KOTA SEMARANG

PanduanTOEFL Terbaik dengan Metode MindMap
A. Latar Belakang Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam Pembinaan Gelandangan di Kota Semarang

Pembangunan Nasional Indonesia dan hakekatnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat seluruhnya. Sebagai konsekuensinya maka segenap aspek yang menyangkut kehidupan dan penghidupan manusia dan masyarakat Indonesia harus memperoleh perlakuan yang selaras, serasi dan seimbang dalam pembangunan. Termasuk di dalamnya masalah-masalah sosial yang menghambat terwujudnya kesejahteraan dan pembangunan masyarakat Indonesia. Masalah-masalah sosial tersebut merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar adat istiadat masyarakat. Masalah sosial disebut juga dengan situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya dan merugikan banyak orang. (Kartini Kartono, 2005 : 6) Dalam menghadapi masalah-masalah yang dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan harus diadakan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Salah satu masalah yang menghambat pembangunan pada saat ini adalah masalah penanganan tuna wisma dan tuna susila atau disebut juga gelandangan (Soedjono, 1989 : 15). Gelandangan hampir terdapat di semua kota-kota besar, yang merupakan masalah serius dalam suatu pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Pada umumnya gelandangan ditimbulkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah proses urbanisasi terlalu tinggi, di mana masyarakat desa yang datang ke kota terlalu banyak sehingga tidak tertampung. Keinginan masyarakat desa datang ke kota untuk memperolah penghidupan yang layak ternyata tidak seperti yang diharapkan. Proses urbanisasi tersebut membawa dampak sosial baik bagi penduduk kota maupun bagi pendatang. Sulitnya mencari pekerjaan, maka para pendatang tidak sedikit yang akhirnya menjadi pengangguran di kota. Desakan penghidupan yang memerlukan biaya untuk kelangsungan hidup, maka diantara para pengangguran tersebut ada yang sebagian akhirnya menjadi gelandangan.

Gelandangan mempunyai lingkungan pergaulan hidup, norma dan aturan yang berbeda dengan masyarakat biasa, tidur seenaknya di tempat-tempat umum (kolong jembatan), makanpun ia begitu kotor dan di tempat umum mereka biasa makan, cara membentuk rumah tangga jarang mereka lakukan kawin resmi dan selalu berganti pasangan, sehingga bila dikaitkan dengan pencemaran lingkungan hidup, gelandangan adalah salah satu penyebabnya. Gelandangan tidak saja merupakan penyakit sosial, tetapi juga merupakan suatu masalah yang memerlukan penanganan dan pembinaan yang cukup serius. Oleh karena itu apabila tidak segera ditangani maka penyakit masyarakat ini akan merajalela, sehingga diperlukan suatu langkah positif yang berupa tindakan penanganan dari pemerintah. Di Kota Semarang, penanganan masalah gelandangan dilakukan dengan melibatkan Dinas Kesejahteraan Sosial beserta Satuan Polisi Pamong Praja yaitu dengan melakukan razia, kemudian yang tertangkap dilakukan pembinaan serta pelatihan ketrampilan dan dikirim ke tempat asal mereka. Di Kota Semarang, masalah gelandangan dikatakan relatif tinggi, hal ini diperoleh dari data Dinas Kesejahteraan Sosial berikut :
Berdasarkan data tersebut di atas, dari tahun 2001 sampai tahun 2005 mengalami peningkatan, jumlah gelandangan yang ditampung pun kian meningkat pada tahun 2001 jumlah gelandangan yang ditampung 154 orang, pada tahun 2005 jumlah gelandangan yang ditampung sekitar 200 orang, sehingga diperlukan adanya pembinaan yang serius mengingat jumlah gelandangan ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Merujuk pendapat dari Sumargono, bahwa dengan adanya peningkatan jumlah gelandangan tersebut, maka kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam penanganan dan pembinaan gelandangan, yaitu antara lain : 1) melakukan razia terhadap gelandangan 2) menampung terhadap gelandangan yang terkena razia, kemudian melakukan pencatatan untuk mengetahui jumlah serta latar belakang lehidupan mereka. 3) membina dengan membangkitkan kesadaran, harga diri dan kepercayaan pada diri sendiri serta arti pentingnya bekerja. 4) menghindarkan mereka dari pengaruh negatif yang berkaitan dengan kriminal. 5) mengembalikan mereka ke tempat asalnya. (Sumber : Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Semarang, 2006)

Kebijakan tersebut dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang agar pembangunan di Kota Semarang berjalan lancar. Masalah gelandangan merupakan masalah sosial yang sulit sekali dihilangkan karena adanya pengaruh masyarakat yang masih menganggap bahwa kehidupan di kota lebih baik daripada kehidupan di desa. Kaum gelandangan sendiri merusak tata kota, yang ingin kotanya terlihat bersih, selain itu menjadikan kesehatan kota menjadi buruk, dan kebanyakan mereka kurang berpendidikan. Oleh karena itu diperlukan pembinaan atau kebijakan dari Pemerintah Kota Semarang dalam upaya penanggulangan masalah gelandangan. Masalah gelandangan merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang muncul disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : faktor pendidikan, kepribadian, ketaatan pada agama, urbanisasi, ekonomi, lingkungan dan geografis. Pada umumnya para gelandangan mengalami proses demoralisasi dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Perasaan bahagia dan kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan itu tergantung pada sikap pribadi. Individu yang puas dalam usaha pembenaran diri dan pendifinisian diri akan merasa bahagia dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya, sebaliknya, dia akan menjadi sangat tidak bahagia apabila tidak ada kongruensi atau keseimbangan antara pendefinisian diri dengan peranan sosial. Jadi seorang individu menjadi gelandangan karena adanya tekanan konflik batin dan krisis-krisis jiwa. (Kartini Kartono, 2005 : 47) Gelandangan merupakan salah satu gejala “social disorganization” yang mana masalah tersebut menjadi salah satu bagian dari dinamika masyarakat, oleh karena itu masyarakat sebagai pihak yang terkena langsung imbas dari keadaan tersebut, mempunyai otoritas untuk menentukan sikap menerima ataupun menolak. Penyelesaian masalah para gelandangan tidak harus tergantung pada pendekatan yuridis saja yaitu melalui Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang. Meskipun pihak-pihak pembentuk peraturan merupakan orang-orang yang dianggap mampu mewakili masyarakat, tetapi tidak mungkin pihak-pihak tersebut mengerti semua kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan masyarakat yang diwakilinya. Oleh karenanya adalah sesuatu yang wajar apabila pada akhirnya terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh masyarakat sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan dan pola perikelakuan antara pembentuk hukum dan masyarakat sebagai obyek hukum. Sebab bagaimanapun juga isi dari produk hukum yang baik seharusnya adalah terdiri dari cerminan-cerminan aspirasi masyarakat, bukan berisi pemaksaan kepentingan para pembuatnya. Masyarakat mempunyai independensi untuk menerima atau menolak, melindungi ataupun memberi sanksi terhadap masalah gelandangan ini. Masyarakat bisa mewujudkan ketidakberpihakan pada masalah gelandagan melalui saluran- saluran reaksi baik yang bersifat positif maupun negatif, atau bahkan sekedar memberikan sanksi yang ringan berupa cemoohan atau umpatan saja. Masyarakat mempunyai filter yang berupa moralitas pribadi masing-masing individu dan juga kekuatan mengikat nilai-nilai serta norma-norma yang tumbuh di masyarakat. Akhirnya akan sampai pada suatu keadaan dimana hukum sebagai perekayasa kehidupan masyarakat tidak mampu berbuat banyak dalam membentuk pola perilaku masyarakat. Dari kenyataan tersebut, maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa pola pikir dan perilaku masyarakat yang senantiasa berkembang sehingga jauh meninggalkan perkembangan bidang hukum, serta adanya ketidakberdayaan hukum dalam mengantisipasi perkembangan masyarakat yang demikian cepat. Mungkin telah saatnya masyarakat dibiarkan untuk menentukan langkahnya sendiri selama masih dalam batas-batas kewajaran sebagai dinamika perkembangan masyarakat.

Pendekatan melalui bidang hukum, dengan berbagai peraturan ternyata belum mampu mengatasi keadaan yang demikian. Bagaimanapun juga hukum sebagai norma sosial adalah tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hukum merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Oleh karenanya pemerintah Kota Semarang sebagai bagian kecil dari masyarakat yang merupakan elit masyarakat sebagai pembentuk peraturan dan dianggap mampu mewakili kepentingan masyarakat, harus mampu menterjemahkan aspirasi dari masyarakatnya. Usaha pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang seharusnya tidak dibatasi dalam lingkup yang terbatas yaitu hanya difokuskan pada para gelandangan saja. Tetapi usaha tersebut harus diproyeksikan untuk sasaran yang lebih luas lagi yaitu mencakup juga masyarakat umum, sehingga masyarakat akan mampu dengan sendirinya untuk memproteksi diri dari akibat negatif adanya gelandangan. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan tema judul “Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam Pembinaan Gelandangan di Kota Semarang.”

B. Identifikasi Masalah
Kriminalitas atau kejahatan itu bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir, warisan) juga bukan merupakan warisan biologis. Tingkah laku kriminal itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria, dapat berlangsung pada usia anak, dewasa ataupun lanjut umur. Kejahatan atau tindak kriminal merupakan satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap masyarakat, perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial yang merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial.
Berdasarkan uraian latar belakang, maka identifikasi masalah penelitian ini adalah mengenai gelandangan yang menjadi masalah sosial masyarakat yang dapat menimbulkan tingkat kriminalitas di kota Semarang. Dan kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan di kota Semarang.

Like Skripsi Ini :

Baca Juga Judul Menarik Lainnya di Bawah INI :

Comment With Facebook!

Rating: 4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA SEMARANG DALAM PEMBINAAN GELANDANGAN DI KOTA SEMARANG