Follow me on Facebook! Follow me on Twitter!
 7projectsdistro.com - Toko Kaos Distro Online Terlengkap Termurah dan Terpercaya

Analisis Indeks Kondisi Monter (IKM) sebagi Variabel Indikator Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal

PanduanTOEFL Terbaik dengan Metode MindMap
1.1. Latar Belakang Masalah Analisis Indeks Kondisi Monter (IKM) sebagi Variabel Indikator Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal


Kebijakan moneter merupakan salah satu kebijakan yang penting untuk mempengaruhi besaran-besaran makroekonomi dalam usaha mencapai tujuan ekonomi yang telah direncanakan.Hal ini tentu sangat rasional mengingat perkembangan sektor keuangan yang sangat pesat serta semakin besarnya peranannya dalam perekonomian suatu negara.Umumnya di beberapa negara kebijakan moneter ini dilakukan oleh bank sentral selaku pemegang otoritas moneter. Menurut UU BI No 13 tahun 1968 Bank Indonesia selaku bank sentral mempunyai tiga tujuan yaitu membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memlihara kesetabilan rupiah, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan standar hidup masyarakat.Secara implisit ketiga hal ini memberi konsekuensi kepada BI untuk dapat menciptakan keseimbangan internal dan eksternal yang dalam makroekonomi diterjemahkan dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi,pengendalian laju inflasi pada tingkat yang rendah serta terciptanya keseimbngan pada neraca pembayaran.
Pada periode 1970an sampai awal 1980an Indonesia bersama beberapa negara di Asia timur lainnya disebut sebagai High Performing Asia Economies karena dianggap memiliki kinerja perekonomian yang ajaib yang tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta tingkat laju inflasi yang rendah. Selama PELITA ke III tingkat pertumbuhan GDP Indonesia rata-rata6,24% kemudian turun menjadi 5,32% pada PELITA IV dan pada PELITA VI naik lagi menjadi 6,7%. Tingkat pertumbuhan ini lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan ekonomi dunia dan negara-negara maju. Tingginya pertumbuhan ekonomi ini juga dialami oleh negara-negara berkembang lainnya, sementara itu selama tahun 1980-1998 rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 2,8%, untuk negara maju 2,2% dan untuk negara-negara berkembang 5,4%.
Neraca transaksi berjala Indonesia selam tahun 1981 sampai pada tahun 2000 selalu mengalami defisit kecuali pada tahun 1998,1999dan 2000.Walaupun pada neraca perdagangan kita selalu mengalami surplus akan tetapi neraca jasa kita selalu mengalami defisit. Tahun 1992 neraca transaksi berjalan defisit sebesar US$2,78 miliar, tiga tahun kemudian menjadi US$6,41 miliar. tahun 1996 kembali naik sebesar 1,23% baru pada tahun 1997turun menjadi US$4,816miliar . Namun pada tahun 2000 transaksi berjalan mencatat surplus sebesar US$7,7 milliar (5,0%dari GDP) atau tumbuh sebesar US$1,9 milliar dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini selain disebabkan perbaikan dalam neraca perdagangan migas juga oleh nonmigas terutama komoditi utama barang elektronik dan sektor pertambangan.Selama ini Ekspor Indonesia masih didominasi oleh hasil migas dan impornya oleh nonmigas. Hal ini tentu relevan dengan kondisi alam yang ada dimana Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak yang besar di dunia. Selam tahun 1987-1996 rata-rata pertumbuhan ekspor barang migas dan nonmigas sebesar 14,13% dan 14,7%, impor barang migas dan nonmigas sebesar 6,05% dan 15,68%. Sementaraitu pertumbuhan jasa netto migasnya 3,59% dan nonmigasnya 9,72%. Surplus transaksi berjalan yang pernah dirasakan pada tahun 1970an memang lebih dikarenakan melonjaknya harga minyak dunia akibat embargo minyak oleh negara-negar arab terhadap beberapa negara barat selam perang Arab-Israel.
Defisit transaksi berjalan yang dialami Indonesia selam periode 1980-2000 juga diikuti defisit pada anggaran pemerintah dan melonjaknya hutang luar negeri. Tahun 1996 rasio defisit anggaran pemerintah terhadap PDB sebesar -3,98%. Sementara itu jumlah hutang luar negeri sampai tahun 1999 mencapai $148.097 juta atau 103,3% dari PDB, sementar itu DSR mencapai 56,8%. Pembengkakan jumlah hutang luar negeri ini akan memperburuk neraca transaki berjalan karena akan berdampak pada peningkatan pembayaran cicilan dan bunga hutang. Tahun 1997 pembayaran cicilan dan bunga htang luar negeri sebesar RP 24.125miliar yang berarti meningkat sebesar 91,8%bila dibandingkan tahun 1990 atau meningkat sebesar 3099% bila dibandingkan tahun 1980.
Sistem keuangan formal di Indonesia terdiri dari industri perbankan,lembaga-lembaga keuangan non bank, industri asuransi, industri leasing dan bank-bank sekunder. Kalau dilihat dari porsi nilai aktiva serta porsi jumlah dan jaringan kantor cabang seluruh lembaga keuangan maka sistem perbankan merupakan sistem keuangan terpenting di Indonesia. Selama ini bank milik pemerintah masih menguasi sebagian pangsa pasar dalam industri perbankan. Sampai pertengahan 83 bank Indonesia masih menetapkan batas tingkat suku bunga perbankan dengan konsekuensi BI memberikan subsidi suku bunga.
Deregulasi moneter yang dikeluarkan pemerintah pertama kali pada tanggal 1 juli1983 dengan mencabut plafon suku bunga deposito yang diikuti dengan deregulasi perbankan atau yang lebih dikenal dengan pakto 88 berupa kemudahan pendirian bank dan kantor cabang bagi kalangan swasta maupun asing mampu menggairahkan sektor perbankan kita. Tujuan deregulasi perbankan ini adalah untuk meningkatkan efesiensi lembaga keuangan, meningkatkan mobilisasi dana dari masyarakat apalagi setelah
Keluarnya UU BI no.23 th 1999 menjadi babak baru bagi BI dalam menjalankan fungsinya, BI menjadi lembaga yang independen baik secara institusional maupun dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Menurut UU ini tujuan BI adalah mencapai stabilitas rupiah, dalam arti rupiah stabil terhdap mata uang lainnya maupun stabilitas di pasar barang. Pada prakteknya kesetabilan harga dan kesetabilan kurs mempunyai hubungan yang sangat kuat maka Bank Indonesia diwajibkan untuk memelihara stabilitas nilai tukar dan harga dengan memfokuskan pada pencapaian laju inflasi yang rendah sebagai tujuan tunggal. Hal ini sesuai dengan pasal 10 UU NO 23 TH 1999 yang menyatakan dalam menjalankan tugas pokoknya BI diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan perencanaan bagi perencanan dan pengendalian sasaran moneter. Salah satu isu yang perlu diperhatikan oleh Bank Indonesia sebelum menerapkan inflation targeting secara penuh adalah alur transmisi moneter yang akan dipilih, secara teoritis dengan menganut sistem nilai tukar yang fleksibel kebijakan moneter akan efektfi bila diikuti dengan mobilitas kapital yang makin tinggi. Sehingga tekanan terhadap nilai tukar yang merupakan efek kebijakan moneter akan disesuaikan melalui pengaruh suku bunga terhadap aliran modal dan pengaruh nilai tukar melalui permintaan barang impor.
Kebutuhan untuk mendapatkan sebuah gambaran yang jelas dan mudah dipahami mengenai mekanisme transmisi moneter semakin mendesak bagi penentu kebijakan sebagai policy tools yang handal dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan secara lebih akurat. Pada negara–negara seperti New Zeland, Swedia dan Kanada pernah menggunakan indek kondisi moneter atau MCI (Monetary Condition Index) sebagai sasran antara transmisi moneternya. MCI merupakan indikator yang memadukan kadar pengaruh moneter yang berasal dari suku bunga dan nilai tukar terhadap permintaan aggregat (Perry Warjiyo dan Doddy Zulverdi) Untuk menerapkan MCI di Indonesia perlu dilakaukan studi yang mendalam lagi. Dengan latar belakang tersebut penulis mencoba untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Indeks Kondisi Monter (IKM) sebagi Variabel Indikator Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal"

| Download File Lengkapnya... |
Like Skripsi Ini :

Baca Juga Judul Menarik Lainnya di Bawah INI :

Comment With Facebook!

Rating: 4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: Analisis Indeks Kondisi Monter (IKM) sebagi Variabel Indikator Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal