Follow me on Facebook! Follow me on Twitter!
 7projectsdistro.com - Toko Kaos Distro Online Terlengkap Termurah dan Terpercaya

Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Dalam Pembelajaran Matematika

PanduanTOEFL Terbaik dengan Metode MindMap
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH (PROBLEM-BASED INSTRUCTION) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMU

Abstrak: Model pembelajaran berdasarkan masalah (problem-based instruction) adalah pendekatan pembelajaran peserta didik pada masalah autentik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) hasil belajar peserta didik yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran berdasarkan masalah dengan hasil belajar peserta didik yang diajar dengan pembelajaran konvensional dan (2) keefektifan model pembelajaran berdasarkan masalah dalam mengajarkan aturan sinus dan aturan cosinus. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu yang diawali dengan pengembangan perangkat pembelajaran berorientasi model pembelajaran berdasarkan masalah. Populasi penelitian adalah semua siswa kelas I SMU Khadijah Surabaya tahun pelajaran 1999/2000. Sampel dipilih secara acak terhadap tiga kelas dari enam kelas yang ada untuk dijadikan kelas uji coba, kelas eksperimen, dan kelas kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar peserta didik yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran berdasarkan masalah adalah lebih baik daripada hasil belajar peserta didik yang diajar dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Namun, pembelajaran berdasarkan masalah tidak efektif dalam mengajarkan aturan sinus dan aturan cosinus. Kata kunci: Pembelajaran berdasarkan masalah, pembelajaran konvensional, masalah autentik, perangkat pembelajaran, keefektifan pembelajaran.

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di SMU. Hasil capaian matematika untuk peserta didik SMU se Jawa Timur dari tahun pelajaran 1996/1997 sampai dengan tahun pelajaran 1998/1999 untuk setiap porgram menunjukkan penurunan. Pada program IPA menurun dari 4,60 menjadi 3,64; program IPS dari 4,52 menjadi 2,80, dan program Bahasa dari 3,12 menjadi 2,26. (Depdikbud, 1999).
Perolehan nilai ini menggambarkan bahwa kemampuan Matematika peserta didik secara umum masih tergolong rendah. Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya hasil belajar Matematika peserta didik, salah satunya adalah ketidaktepatan penggunaan model pembelajaran yang digunakan guru di kelas. Kenyataan menunjukkan bahwa selama ini kebanyakan guru menggunakan model pembelajaran yang bersifat konvensional dan banyak didominasi guru (Abbas, 2000: 2). Pola pembelajaran seperti itu harus diubah dengan cara menggiring peserta didik mencari ilmunya sendiri. Guru hanya sebagai fasilitator, sedangkan peserta didik harus menemukan konsep-konsep secara mandiri. Untuk mengantisipasi masalah di atas, guru dituntut mencari dan menemukan suatu cara yang dapat menumbuhkan motivasi belajar peserta didik. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru diharapkan dapat mengembangkan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan mengembangkan, menemukan, menyelidiki dan mengungkapkan ide peserta didik sendiri. Dengan kata lain diharapkan kiranya guru mampu meningkatkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah peserta didik dalam Matematika. Kemampuan memecahkan masalah adalah tujuan umum dalam pengajaran matematika dan bahkan sebagai jantungnya matematika, Branca (dalam Krulik dan Reys, 1980: 3). Oleh karena itu, kemampuan memecahkan masalah hendaknya diberikan, dilatihkan, dan dibiasakan kepada peserta didik sedini mungkin. Soedjadi (1994: 36) menyatakan bahwa melalui pelajaran Matematika diharapkan dan dapat ditumbuhkan kemampuan-kemampuan yang lebih bermanfaat untuk mengatasi masalah-masalah yang diperkirakan akan dihadapi peserta didik di masa depan. Kemampuan tersebut diantaranya adalah kemampuan memecahkan masalah. Lebih lanjut Ruseffendi (1991: 291) menyatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah amatlah penting, bukan saja bagi mereka yang dikemudian hari akan mendalami Matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya, baik dalam bidang studi lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Slavin (1994), pemberian keterampilan berpikir dan pemecahan masalah kepada peserta didik memerlukan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, terutama orang tua, teman sejawat, dan guru. Selain itu, pemberian keterampilan berpikir dan memecahkan masalah ke peserta didik memerlukan sarana. Menurut Dewey (dalam Slavin, 1994), sarana yang memadai untuk melatih keterampilan berpikir dan memecahkan masalah peserta didik adalah lembaga pendidikan seperti misalnya sekolah. Sekolah merupakan cermin dari masyarakat luas dan merupakan laboratorium pemecahan masalah dari bentuk kehidupan nyata. Hingga saat ini, keterampilan berpikir dan memecahkan masalah peserta didik di Indonesia belum begitu membudaya. Kebanyakan peserta didik terbiasa melakukan kegiatan belajar berupa menghafal tanpa dibarengi pengembangan keterampilan berpikir dan memecahkan masalah. Untuk menyikapi permasalahan ini maka perlu dilakukan upaya pembelajaran berdasarkan teori kognitif yang di dalamnya termasuk teori belajar konstruktivis. Menurut teori konstruktivis keterampilan berpikir dan memecahkan masalah dapat dikembangkan jika peserta didik melakukan sendiri, menemukan, dan memindahkan kekomplekan pengetahuan yang ada. Dalam hal ini, secara spontanitas peserta didik akan mencocokkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang dimilikinya kemudian membangun kembali aturan pengetahuannya jika terdapat aturan yang tidak sesuai (Slavin, 1994: 225). Oleh karena itu guru hendaknya mampu menciptakan suasana belajar yang dapat membantu peserta didik berlatih memecahkan masalah. Salah satu model pembelajaran yang dapat membantu peserta didik berlatih memecahkan masalah adalah model pembelajaran berdasarkan masalah (Problembased Instruction).

Model ini merupakan pendekatan pembelajaran peserta didik pada masalah autentik (nyata) sehingga peserta didik dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang tinggi dan inkuiri, memandirikan peserta didik, dan meningkatkan kepercayaan dirinya (Arends, 1997: 288). Pada model ini, peran guru adalah mengajukan masalah, mengajukan pertanyaan, memberikan kemudahan suasana berdialog, memberikan fasilitas penelitian, dan melakukan penelitian. Aturan sinus dan aturan sosinus merupakan sub pokok bahasan dalam Rumusrumus Segitiga dalam Trigonometri yang diajarkan pada peserta didik SMU kelas I Cawu 2. Aturan sinus dan aturan cosinus ini dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Like Skripsi Ini :

Baca Juga Judul Menarik Lainnya di Bawah INI :

Comment With Facebook!

Rating: 4.5 | Reviewer: Unknown | ItemReviewed: Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Dalam Pembelajaran Matematika